Jembatan Butuh

Ilustrasi---

Bangunan itu luasnya empat hektare. Modern. Langsung jadi pusat perhatian siapa pun yang akan masuk ke UGM.

Di banyak universitas besar dunia, jalan utama seperti itu ditata sangat anggun. Kanan-kiri jalan ditanam pohon-pohon besar yang sangat khas. Di jalur tengahnya, yang lebar, dibangun taman yang indah.

Tidak di UGM. Pohon di kanan-kirinya tidak diatur –jenis pohonnya maupun penataannya. Pun jalur tengahnya. Tidak ditata cantik. Tidak terlihat keanggunan UGM di jalan utama masuknya.

Apalagi setelah di sebelah kiri jalan utama itu segera terlihat GIK yang megah. Jalan masuk utama UGM pun akan kelihatan kurang terurusnya.

Hari itu dua kali saya ke UGM. Sore hari saya mengelilingi GIK yang hampir jadi. Malamnya ke Pasar Kangen. Tengah malam membayangkan seperti apa operasional GIK kelak. 

GIK UGM adalah model pertama, tidak hanya di Indonesia. GIK akan tetap di bawah rektor tapi sangat otonom. Pengelolanya pun tidak dari birokrasi UGM. Sepenuhnya profesional dan swasta. 

Salah satunya: Garin Nugroho. Anda sudah tahu siapa Garin.

Lokasi GIK dulunya Gelanggang Mahasiswa dan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH). Setelah jadi GIK mahasiswa akan dapat bimbingan khusus. Di 38 bidang pelajaran –yang menyangkut inovasi dan kreativitas: segala macam seni, desain, software, kuliner, wirausaha, ...

Rasanya GIK tidak akan ada kalau Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UGM Prof Dr Pratikno tidak menjabat mensesneg. Dua periode. Anda sudah tahu: beliau adalah juga mantan rektor UGM dua periode pula.

Pasar Kangen dan GIK jangan dibanding-bandingkan. Bisa jalan dua-duanya. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan