Beras Bansos
Beras Harbin.--
Ekspektasi kebanyakan orang cukuplah: beras ada. Tidak harus ngetan dan wangi. Cukup enak cukup –untuk lidah fleksibel. Berharap juga harga pun terjangkau.
BACA JUGA:Tidak Terlibat Perpanjangan Kontrak Kroos
Tahap ''ada beras'' dan ''beras cukup'' pernah tercapai. Yakni di zaman mertua presiden terpilih sekarang jadi presiden.
Setelah itu harusnya kita naik kelas: dari ''ada'' dan ''cukup'' ke rasa yang lebih enak.
Ternyata kita tidak bisa naik kelas. Tidak pernah bisa. Kita begitu cinta pada kelas yang sama. Bahkan status ''cukup'' itu pun masih sering terganggu: harus impor.
Setiap presiden takut inflasi. Begitu muncul ramalan bahwa stok beras menipis keputusannya cepat: impor beras! Kalau tidak, akan inflasi. Harga beras sangat sensitif pada inflasi.
BACA JUGA:Fiorentina Siap Tempur di Babak 16 Besar Conference League UEFA
Data stok beras kita sangat terbuka. Memang harus terbuka. Para pedagang besar tinggal lihat: masih berapa juta ton cadangan beras kita. Begitu angkanya menunjukkan tinggal 1,5 juta ton, mereka nguping: kapan keputusan impor dibuat.
Keputusan itu biasanya diproses di Kemenko Perekonomian. Rapatnya berkali-kali. Menteri pertanian biasanya berbeda pendapat dengan menteri perdagangan.
Debatnya bisa keras.
Menteri pertanian biasanya tidak setuju impor: bela petani. Lalu dibuatlah simulasi inflasi. Kalau tidak impor inflasi akan menjadi berapa. Kalau impor hanya sekian juta ton inflasi berapa. Impor separonya bagaimana.
Maka keputusan impor beras tidak semata takut beras tidak cukup. Angka tipisnya stok sangat terkait dengan inflasi.
Katakanlah panen raya akan terjadi dua bulan lagi. Sepanjang jalan kita melihat tanaman padi sudah menghijau –pun di lahan milik orang PDI-Perjuangan. Hujan masih deras. Tampaknya tidak akan kekurangan air –doa kita. Tinggal hama dan pupuk.
Berarti negara harus punya stok beras untuk cukup dua bulan. Berapa juta ton?
''Timing'' impor beras sangat penting. Demikian juga jumlah beras yang harus diimpor.