James Surip

James Surip--

Semua bisa dimonitor: lagu apa saja yang diputar di mana. Siapa penyanyinya. Lalu pencipta lagu dan penyanyinya dapat bagian berapa. 

Tanpa digitalisasi bagaimana mungkin bisa dilakukan. 

Cara manual hanya akan memberi peluang penyelewengan di segala lini. Termasuk membuka permainan antara lembaga bisnis dan lembaga yang mengurus pembayaran hak cipta. 

Main taksir. 

Main mata. 

Lembaga yang mewakili artis itu sudah ada: LMKN. Anda sudah tahu singkatan apa itu. 

James ikut aktif di kelahiran lembaga manajemen kolektif itu. 

James tahu banyak apa yang terjadi di Amerika, Brasil, Eropa dan Asia. Ia memilih berkiblat ke Amerika. 

Nama LMKN pun dimiripkan dengan nama lembaga serupa yang lebih dulu lahir di Amerika. 

James pernah jadi wakil ketua dan kemudian ketua di LMKN. Begitu banyak pekerjaan di situ. Rumit. Ruwet. Kesal. Gemes. Jadi satu. 

Lebih sulit dari menciptakan lagu Lilin Kecil maupun September Ceria. Lebih sulit dari mendesain arsitektur. Tentu lebih sulit lagi dari memasak ikan today. 

Berapa jumlah artis yang mendaftar untuk dapat bagian royalti dari LMKN? Perusuh seperti Prof Pry tidak perlu tahu. Bisa naik darah: 15.000 orang. Mulai dangdut sampai kolintang. Rock sampai kuda kepang. 

Yang sulit: semua merasa berhak mendapat bagian yang besar. Lalu bagaimana cara membaginya --kalau tidak ada digitalisasi. 

Di zaman James, LMKN pernah mampu mengumpulkan royalti kolektif di atas Rp 100 miliar. Tapi apa artinya dibagi untuk 15.000 artis. 

"Kalau mau jujur separo nilai itu akan jatuh ke Bang Haji," ujar James. Tebak sendiri siapa yang dimaksud Bang Haji. 

Tag
Share