Pemerintah Harus Stop Alih Fungsi Lahan Gambut
JUANG: Aktivis gambut perjuangkan penyetopan alih fungsi lahan gambut di Sumsel. Foto: dok/AntaraNews--
REL, Palembang - Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan (Sumsel), M Hairul Sobri, menyerukan kepada aparat berwenang untuk menghentikan kegiatan alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya.
Menurutnya, alih fungsi lahan gambut menimbulkan berbagai permasalahan dan dampak buruk di berbagai sektor, termasuk lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan hubungan bilateral antarnegara.
Selain dampak alih fungsi lahan gambut, Sobri juga menyoroti tata kelola kesatuan hidrologi gambut (KHG) yang tidak terkelola dengan baik, menyebabkan krisis ekologi seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta banjir.
Krisis ekologi ini terus menghantui masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan KHG dan sekitarnya, di mana kekeringan dan karhutla sering terjadi pada musim kemarau, sementara banjir terjadi pada musim hujan.
BACA JUGA:Saksi Paslon AMIN di Sumsel Tolak Tandatangan
BACA JUGA:15 Warga Binaan Dapat Remisi Khusus Nyepi
Untuk mengatasi masalah ini, Sobri menegaskan perlunya keseriusan pemerintah dalam menangani izin yang mengancam KHG. Meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan gambut, Sobri menyoroti masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Salah satu langkah yang diusulkan adalah meningkatkan restorasi gambut di sejumlah kabupaten di Sumsel yang sudah berjalan selama sekitar 10 tahun. Menurutnya, restorasi gambut harus terus ditingkatkan agar permasalahan yang telah terjadi selama ini dapat diminimalkan.
Kepala Sub Pokja Restorasi Gambut Sumsel, Desi Efrida Lesti, menyampaikan 'roadmap' pendekatan restorasi gambut di provinsi ini. Menurutnya, terdapat tiga periode dalam pendekatan ini:
1. 2016-2020: Fokus pada restorasi gambut yang berlangsung secara parsial dan 'quick respond', dengan merestorasi gambut yang terkena karhutla berbasis KHG tanpa memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.
2. 2021-2024: Konsentrasi pada kerja yang meliputi restorasi gambut secara parsial dan 'quick respond' serta sistematika terpadu. Di dalam periode ini, lembaga adhock yang fokus pada pemodelan restorasi gambut secara sistematik dan terpadu dengan memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.
3. 2025: Fokus pada implementasi penuh restorasi sistematik terpadu, dengan tujuan menjaga kondisi KHG agar tetap terpelihara dan memiliki fungsi sebagaimana mestinya.
Desi Efrida juga menyoroti ketergantungan masyarakat terhadap kawasan gambut untuk keberlangsungan hidupnya. Ia menekankan pentingnya menghindari perseteruan antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah ini. (*)