Untuk sementara Ari dan Dian baru bisa menangani dua orang dulu. Mereka membuat yayasan Indonesia Lighthouse untuk pengembangan calon pemimpin masa depan Indonesia. Syaratnya: harus berprestasi di bangku kuliah. Boleh mendaftar. Lalu diseleksi.
Ari dan Dian tipe dua alumni yang cinta almamaternya. Mereka percaya gerakan awal ini bisa dikembangkan lebih lanjut. Bukan hanya untuk mahasiswa Unair. Namun juga untuk pembinaan para pengajar atau akademisi Unair.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Disway Edisi 4 November 2024: Gunung Sritex
Mirza Mirwan
Ketika PT Texmaco Jaya milik Marimutu Sinivasan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta pada 2010, PT Sritex seperti tak punya pesaing lagi, kecuali pabrik-pabrik tekstil kelas teri. Barangkali dari sanalah kejemawaan PT Sritex berawal. Padahal seharusnya kepailitan PT Texmaco Jaya dulu itu bisa dijadikan pelajaran agar PT Sritex tidak mengalami nasib serupa. Tapi...eee...lhadalah, 14 tahun kemudian PT Sritex harus pailit juga. Di berbagai negara banyak perusahaan raksasa yang sudah berjaya puluhan tahun pamornya menjadi redup, bahkan bangkrut. Pan American Airways barangkali salah satu contohnya. Raksasa maskapai penerbangan yang dulu sohor dengan sebutan Pan Am itu tetap eksis ketika AS dilanda "great depression" (1929-1939). Padahal ketika depresi mulai melanda umur Pan Am baru dua tahun. Tetapi Pan Am justru kian besar saja. Pada masa kejayaannya, 1960-an sampai 1970 Pan Am menyinggahi 80-an negara di lima benua. Sampai sekarang tak ada maskapai penerbangan yang bisa menyamainya. Tetapi ternyata pada 1991 Pan Am bisa bangkrut juga. Sebelum meninggal mungkin HM Lukminto tak pernah membayangkan bahwa perusahaan yang dirintisnya dari sebuah kios di Pasar Klewer dan akhirnya menjadi raksasa tekstil akan mengalami kebangkrutan. Pepatah klasik mengajarkan: Kalau pandai meniti buih, selamat badan ke seberang. Rupanya, sepeninggal HM Lukminto, manajemen Sritex kesulitan meniti buih. Dan akhirnya Sritex harus pailit.
Udin Salemo
#ngoceh_pagi Tahun 1985 bea cukai pernah dibubarkan oleh Pak Harto. Seluruh karyawannya dirumahkan selama empat tahun. Lalu tugas kepabeanan diserahkan ke SGS asal Swiss. Kayaknya sekarang perlu juga meniru cara Pak Harto. Bubarkan saja lembaga/badan yang tugasnya gak jelas, tugasnya tumpang tindih dengan kementerian atau lembaga/badan lainnya. Tapi fakta-nya malah memperbanyak lembaga/badan, bahkan memperbanyak kementerian. Sungguh bad fact yang bikin mengelus dada. Ditengah ekonomi sulit bagi rakyat marhaen, eh malah bagi bagi jabatan untuk kolega. Slogan biar kesohor asal nyohor masih tetap dipertahankan. #salam goyang gemoy
BACA JUGA:Felix Nmecha Dapat Pujian Setinggi Langit
BACA JUGA:Ditutup Karena Penguatan Jembatan
Agus Suryonegoro III - 阿古斯•苏约诺
SRITEX: SEJARAH DAN RIWAYATNYA.. Sritex (Sri Rejeki Isman) didirikan oleh HM Lukminto pada 1966 di Solo. Dimulai dari kios kain kecil hingga menjadi raksasa tekstil dunia. Kehebatannya: mampu memproduksi seragam militer berkualitas tinggi untuk NATO hingga tentara di banyak negara. Puncak kejayaan tercapai sekitar 2010-an, dengan ekspor luas dan reputasi kuat. Namun, penurunan mulai terasa pada 2020-an, ditandai masalah utang besar. Alasannya? Kombinasi dari beberapa hal menjadi satu: 1). Generasi penerus yang mungkin kurang adaptif. 2). Lingkungan bisnis tekstil global yang berubah. 3). Persaingan ketat. 4). Dampak pandemi. ### Sritex pun terseret.. Bagai kain yang terurai perlahan.. Gombal gambul. Modal madul..
Wilwa
Ini makin membuat saya “meyakini” hipotesis pakar neuroscience, yang mempelajari cara kerja otak manusia, bahwa manusia dalam keseharian lebih banyak dikendalikan otak emosi(onar) bukan otak rasio(nal). Seperti yang selalu didengungkan Dokter Bedhes Ryu Hasan. Agama itu menyangkut otak emosi. Paling kuat mempengaruhi pemikiran seseorang. Karena itu pula politisasi agama jauh lebih efektif dan efisien! Tak hanya di Indonesia tapi juga di Amerika dan negara-negara lain yang penduduknya sangat “religious”. Paradox memang. Dan apakah itu jelek? Kalau Anda tanya ke Ryu akan dijawab: GAK JELEK! Cuma BEDA aja. Jelas beda membandingkan Indonesia yang rakyatnya religious dengan Tiongkok, Korsel, Jepang yang “sekuler”. Hmmmm
Liáng - βιολί ζήτα
Oom Wilwa, Lha kalau ada mayoritas rakyat yang memang suka bahkan bahagia melanggar hukum, hobi nilep, hobi nyontek, sampai senang korupsi, ya ga pa pa khan? Satire tingkat dewa ala “ustad” Ryu Hasan.:):):) isengin Oom Wilwa (biar nguamuk... wkwkwkwkwk.....) Lha... kita kan " hobi nyonték"..... Oom Saya, dengan nama kerén Liáng mengaku dengan sejujur-jujurnya... Hobby nyontek pisan - dari halaman buku saya conték, kemudian copy paste ke ruang komentar ini..... Ngomong-ngomong... bukannya Oom Wilwa juga Hobby nyonték... nyonték dari obrolannya Ryu Hasan di YouTube, kemudian ditulis menjadi komentar di sini ?? Nyonték koq disetarakan dengan korupsi ?? Oom...Oom... aya-aya waé atuh.....
thamrindahlan