REL,BACAKORN.CO – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkap sejumlah masalah serius dalam pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) yang telah berlangsung sejak tahun 2020. Dalam kajian yang dipaparkan oleh Anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais, ditemukan berbagai kendala yang berpotensi merugikan peserta didik dan masyarakat secara umum.
BACA JUGA:Kemenag Terapkan Skema Baru Sertifikasi Guru: Cukup dengan Portofolio, Tanpa PPG Setahun
BACA JUGA:9 Tempat Terbaik untuk Tahun Baruan di Malang, Pilihan Asyik untuk Malam Pergantian Tahun 2025
Masalah Utama dalam Zonasi dan Pemalsuan Dokumen
Salah satu temuan utama adalah masalah dalam sistem zonasi yang diterapkan dalam PPDB. Ombudsman mencatat ada 594 laporan yang diterima terkait zonasi dari tahun 2022 hingga 2024, dengan permasalahan terbesar terkait jarak, verifikasi dokumen, dan blankspot (area yang tidak terjangkau oleh sistem zonasi). Indraza mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, ditemukan pemalsuan barcode kartu keluarga (KK) oleh oknum tertentu untuk mengakali aturan zonasi agar peserta didik diterima di sekolah yang tidak sesuai dengan lokasi domisili mereka.
"Zonasi seharusnya mengacu pada jarak dan area, namun kami menemukan banyak upaya pemalsuan dokumen, khususnya kartu keluarga, untuk memanipulasi sistem ini," kata Indraza.
Selain itu, Ombudsman juga mengidentifikasi adanya blankspot, yaitu daerah yang tidak tercover dalam sistem zonasi. Hal ini menyebabkan ketidakmerataan akses ke pendidikan, dengan beberapa siswa kesulitan mendapatkan sekolah meskipun berada dalam jarak yang wajar.
BACA JUGA:Perkuat Solidaritas Antar Organisasi Kewanitaan
BACA JUGA:Gencarkan Program CSR untuk Pengentasan Kemiskinan
Afirmasi dan Penyalahgunaan Kuota
Dalam jalur afirmasi, Ombudsman menemukan kesulitan dalam membuktikan status sosial ekonomi peserta calon peserta didik. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama mengingat perubahan kondisi sosial-ekonomi yang signifikan pasca-pandemi COVID-19. Ombudsman juga mencatat adanya penyimpangan dalam penggunaan kuota afirmasi, dengan beberapa daerah yang mengatur kuota secara tidak transparan, bahkan ada indikasi praktik penjualan kuota.
Ketidaksetaraan dalam Seleksi Prestasi
Pada jalur prestasi, Ombudsman mencatat adanya ketidaksetaraan dalam penilaian rapor antara sekolah yang satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan nilai yang sama di sekolah berbeda memiliki arti yang berbeda dalam proses seleksi. Selain itu, ditemukan juga praktik pemalsuan nilai rapor dan manipulasi nilai melalui e-rapor, yang mencoreng integritas sistem seleksi.
“Beberapa daerah juga menyalahgunakan pencantuman sertifikat prestasi yang belum dapat diservis dengan sistem yang jelas,” tambah Indraza.
BACA JUGA:Banyak yang Nggak Tau, Ini 7 Destinasi Wisata Instagramable di Bali yang Harus Kamu Kunjungi