Saya ditinggal di situ. Saya ngobrol dengan tiga petugas jaga: dua kulit putih seperti sosok di di film cowboy, satu kulit hitam kekar.
Saya perkenalkan diri: dari Indonesia, steman calon juri yang akan diwawancara. Mereka menyambut baik. Boleh masuk. Diminta duduk di kursi panjang di koridor dalam.
Saya pun duduk di situ. Lorong ini lebar. Sekitar 6 meter. Tidak terasa sebagai lorong. Beberapa kursi panjang ada di kiri lorong. Kanannya kosong. Banyak display di dinding kanan: termasuk jejeran foto-foto anggota asosiasi pengacara di wilayah itu.
Saya pun berdiri. Pilih lihat-lihat display itu. Lalu mengintip sana-sini. Di kanan-kiri lorong ada beberapa pintu. Itulah pintu masuk ruang-ruang sidang pengadilan. Salah satunya lebih besar. Susunannya mirip yang di ruang pengadilan Presiden Trump di New York yang pernah saya lihat.
Kian lama kian banyak yang duduk di kursi panjang. Saya bertanya ke wanita setengah baya di kursi itu. Dia kulit putih. Blonde. Modis. Dia menjawab: dia juga datang untuk wawancara jadi juri.
Kursi panjang pun tidak cukup. Banyak yang berdiri. Salah satunya: wanita yang lagi hamil tua. Pun dalam kondisi seperti itu dia harus datang: agar tidak kena pasal contempt of court.
Saya hitung: 40 orang. Padahal yang diperlukan hanya 13 saja: 12 sebagai juri, satu cadangan. Atau ini untuk dua atau tiga tim juri?
Tepat pukul 09.00 mereka antre masuk salah satu ruangan. Di pintu masuk mereka ditanya nama, lalu dicocokkan dengan daftar. Lantas diberi kartu nomor. John dapat nomor 45 dari total 48 orang calon juri.
Di dalam ruangan mereka duduk di kursi yang dijejer seperti dalam kelas. Saya bisa mengintip karena pintu terbuka.
Di ruang itulah dijelaskan tata cara wawancara. Lalu pintu ditutup.
Sesaat kemudian Si hamil tua keluar dari ruangan. Boleh tidak jadi juri. Dia mungkin akan melahirkan saat persidangan berlangsung.
Lalu ada lagi yang keluar. Juga wanita. Dia dokter. Sudah terikat janji melakukan operasi bedah jantung sore itu.
Tidak sampai satu jam, banyak orang keluar dari ruangan. Termasuk John. Ia mengepalkan tangan sambil tersenyum lebar. Belum sampai pada nomor urutnya, 13 nama sudah didapat.
Di mobil John bercerita: begitu tahu kisi-kisi persidangan itu untuk perkara apa, John langsung punya ide untuk tidak terpilih.
Calon juri memang tidak diberi tahu perkaranya nanti soal apa. Tapi John menangkap kisi-kisinya: yang salah satu keluarganya menjadi polisi diminta angkat tangan. Beberapa orang angkat tangan. Mereka dianggap tidak memenuhi syarat. Berarti, pikir John, ini perkara penjahat yang melawan polisi.
Maka langsung terpikir oleh John bahwa ia juga bisa tidak memenuhi syarat. Ia pernah menjadi polisi militer. Pasti pro-polisi. Yakni ketika ia menjadi tentara di masa muda dulu.