REL,BACAKORAN.CO – Perbedaan awal Dzulhijjah antara Arab Saudi dan Indonesia menimbulkan pertanyaan dalam melaksanakan puasa Arafah bagi umat Islam Indonesia.
Dalam menjawab pertanyaan ini, dua ulama kharismatik Indonesia, KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya, dan Ustadz Adi Hidayat atau UAH memberikan penjelasan yang gamblang.
BACA JUGA:Empat Lawang Daerah Religi
Buya Yahya menjelaskan bahwa dalam pandangan jumhur ulama selain mazhab Imam Syafi’i, terdapat konsep Ittihadul Mathla'. Konsep ini memungkinkan umat Islam untuk mengikuti waktu puasa Arafah yang ditetapkan di Makkah, tanpa memperhatikan perbedaan geografis.
Namun, dalam mazhab Imam Syafi’i dikenal konsep Ikhtilaful Mathali, yang mengharuskan umat Islam berpuasa sesuai dengan tanggal di wilayah masing-masing.
"Keduanya boleh. Akan tetapi, ketahuilah kaidah besar yang dihadirkan para ulama, negara memutuskan kayak gimana," jelas Buya Yahya.
Sementara itu, UAH mengutip hadis riwayat Muslim nomor 1162 yang menyatakan bahwa puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
BACA JUGA:Ormas Keagamaan Boleh Kelola Tambang Batu Bara
UAH menekankan bahwa dalam hadis tersebut, disebutkan kata ‘yaum’, yang menunjukkan pada waktu, bukan pada momentum.
"Jadi, jatuh puasanya pada tanggalnya, bukan pada momentum wukufnya pada tempat tertentu," tegas UAH.
Dari penjelasan Buya Yahya dan UAH, dapat disimpulkan bahwa umat Islam Indonesia, terutama yang mengikuti mazhab Imam Syafi’i, dapat melaksanakan puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah 1445 H sesuai dengan waktu yang ditetapkan pemerintah Indonesia, yaitu pada Ahad, 16 Juni 2024.
BACA JUGA:Kontroversi Khotbah Garren Lumoindong: Tantangan Etika di Dunia Agama
Dengan penjelasan yang terperinci dari kedua ulama tersebut, diharapkan umat Islam dapat memahami dan menjalankan ibadah puasa Arafah dengan penuh keyakinan dan keikhlasan.***