Critical Parah

Oleh: Dahlan Iskan --

RAKYATEMPATLAWANG – Tulisan itu muncul di layar setelah saya memasukkan kode booking di komputer bandara Hartford, Connecticut. 

Ups...Saya ketinggalan pesawat. 

Padahal ini penerbangan hampir tiga jam. Ke Chicago. Tidak bisa diganti dengan naik mobil: bisa dua hari baru sampai. Padahal Hartford – Chicago bukan jalur penting. Jarang ada penerbangan langsung. Pesawat untuk rute itu pun kecil: jet regional Bombardier –lantaran jumlah penumpang yang tidak banyak. 

Saya pun lari ke tempat check in di counter. Kebetulan tidak ada antrean. Dia pun membuka komputer dan memasukkan data-data, termasuk paspor saya. Terlihat berusaha sungguh-sungguh membantu. 

"Sudah tidak bisa lagi dibantu," katanyi. 

"Saya tidak bawa bagasi," kata saya mengiba. 

Dia kembali serius mengutak-atik keyboard. Agak lama. Lalu saya lega. Dia terlihat mengklik ''enter''. Itu pertanda lagi mencetak kartu boarding. 

"Alhamdulillaaaah...," kata saya dalam hati. Lega. Saya pun mengucapkan terima kasih tak terhitung berapa kali. Saya tidak hiraukan lagi kata-katanyi setelah itu. Saya lari ke gerbang pemberangkatan. 

Lari. Lari. 

Saya tahu pemeriksaan di security akan lama. Tidak mungkin diterobos dengan alasan apa pun. Tidak perlu dicoba pakai merayu atau minta prioritas. Justru akan berurusan lama. Ini Amerika. 

Saya hanya berhasil melewati beberapa orang yang antre di depan saya. Saya minta izin baik-baik. Mereka dengan senang hati mempersilakan. Saya pun sering memberi kesempatan orang yang kepepet waktu seperti itu. 

Saya lihat orang di depan saya: copot sepatu. Sepatu pun harus dimasukkan mesin pemeriksaan. Satu menit rasa satu jam. 

Setelah melewati security barulah saya lega. Saya langsung lihat boarding pass. Harus ke gate berapa. 

Tulisan di boarding pass terasa kabur. Emosi saya mungkin membuat darah terlalu banyak naik ke kepala. Lama-lama tulisan jelas: Gate 30. Jauh. Belok. Lari! 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan