Guru di Persimpangan Zaman: Beban, Harapan, dan Transformasi dalam Pendidikan Indonesia
Foto: Guru di Persimpangan Zaman: Beban, Harapan, dan Transformasi dalam Pendidikan Indonesia--
RAKYATEMPATLAWANG – Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November menjadi momentum refleksi atas peran guru di tengah tantangan pendidikan modern.
Di balik pujian sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, realitas kesejahteraan dan tantangan yang dihadapi guru mengundang pertanyaan besar: sejauh mana penghormatan terhadap guru terwujud dalam kebijakan dan praktik nyata?
Perubahan struktural di tubuh pemerintahan, dengan hadirnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di bawah kepemimpinan Prof. Dr. KH. Abdul Mu’ti, membawa semangat baru.
Dalam kunjungannya ke sejumlah sekolah, Abdul Mu’ti menyampaikan visi guru sebagai pemimpin pembelajaran yang adaptif, kreatif, dan relevan dengan zaman. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah para guru memiliki dukungan yang cukup untuk memenuhi visi tersebut?
Beban Administrasi dan Tantangan Kesejahteraan
BACA JUGA:Tukarkan Poin dan Nikmati Voucher Seru Setiap Jumat!
BACA JUGA:Tren Transaksi Tanpa Kartu Meningkat Pesat, Solusi Praktis di Era Digital
Beragam kendala masih menjadi penghambat utama bagi para guru di Indonesia. Guru di daerah terpencil menghadapi keterbatasan fasilitas, seperti minimnya akses internet dan buku pelajaran.
Di perkotaan, guru dihadapkan pada tuntutan digitalisasi, adaptasi terhadap psikologi generasi muda, dan beban administrasi yang berat.
Ironisnya, beban administrasi sering kali mendominasi tugas guru, menjauhkan mereka dari fokus utama sebagai pendidik. Penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan mencatat bahwa lebih dari 40% guru mengalami stres kerja akibat tugas administratif yang berlebihan, minimnya apresiasi, dan tekanan target kurikulum. Kondisi ini memengaruhi kesehatan mental dan kualitas pengajaran mereka.
Kesempatan Berinovasi Masih Terbatas
Meski pemerintah menyerukan inovasi, banyak guru terhambat karena minimnya pelatihan dan fasilitas yang memadai. Kurikulum yang kaku dan metode pengajaran konvensional masih membatasi ruang kreativitas. Situasi ini menciptakan paradoks: guru dituntut menjadi inovator, tetapi kurang didukung untuk berinovasi.
Beberapa guru di berbagai daerah telah menunjukkan semangat luar biasa. Misalnya, seorang guru di Nusa Tenggara Timur yang menggunakan bahan lokal untuk mengajarkan sains, atau guru di Jakarta yang memanfaatkan media sosial sebagai alat pembelajaran interaktif. Namun, tidak semua guru memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
BACA JUGA:Kemudahan Klaim Asuransi Setelah Tiga Tahun Keanggotaan