Generasi Taruna
Oleh: Dahlan Iskan --
Kalau Garuda dinyatakan pailit maka seluruh harta Garuda dilelang. Hasil lelang dibagi ke para kreditur secara proporsional.
Kenyataannya aset Garuda sangat kecil. Padahal utangnya sekitar Rp 180 triliun. Kalau aset itu dilelang lebih tidak bernilai lagi: harga lelang.
Maka tidak ada kreditur yang ingin Garuda pailit.
Pilihan lain: berdamai (homologasi). Para kreditur berdamai dengan Garuda.
Maka para kreditur bisa minta agar Garuda mengajukan usul: bentuk perdamaiannya seperti apa.
Di tahap itu Garuda berada di atas angin. Begitulah perusahaan. Yang punya utang lebih gagah dari yang diutangi. Juga lebih berkuasa. Bisa lebih mendikte. Maka, guyonnya, kalau punya utang sekalian yang luar biasa besarnya.
Atas perintah pengadilan, Garuda pun menyusun rencana perdamaian. Garuda mengajukan banyak syarat untuk mau berdamai. Pengadilan memberi waktu dua minggu. Rasanya itu tidak mungkin. Menyusun usulan perdamaian untuk utang hampir Rp 200 triliun tidak mungkin dalam dua minggu.
Garuda minta waktu lebih panjang: dua bulan. Pengadilan mengabulkan.
Saya bisa membayangkan betapa stres direksi Garuda di bulan-bulan itu. Betapa panjang jam kerja mereka. Malam bisa seperti siang dan siang tetap saja siang.
Akhirnya Garuda berhasil merumuskan syarat perdamaian. Pertama: semua utang harus dipotong sampai 80 persen. Kecuali utang ke sesama BUMN.
Dengan demikian Garuda tinggal membayar 20 persennya.
Dapat potongan sebanyak sekitar Rp 140 triliun adalah prestasi direksi yang tidak boleh dilupakan.
Garuda masih mengajukan syarat lain: dari sisa 20 persen itu yang dua pertiganya dibayar dengan saham. Sedang yang sepertiganya harus mau dicicil selama 10 tahun.
BACA JUGA:Mahasiswi di Palembang Merugi Jutaan Rupiah
BACA JUGA:Nafsu Sudah di Ubun-Ubun, Pemuda di OI Tega Aniaya Kekasih