Bubur Ibadah

Bubur Ibadah.--

Oleh: Dahlan Iskan

Wanita berjilbab ini lebih maju dari bisnis orang Tionghoa. "Lihatlah dagangan saya, selalu di depan toko orang Tionghoa," ujar Dewi Andarwati.

Dewi bercanda. Tapi memang sukses. Dia tidak perlu punya toko. Jualannya hanya 2,5 jam: 05.30 sampai 08.00. Karena itu lebih baik sewa emperan toko. Pasang rombong di situ. Toh pagi-pagi toko belum buka. Ketika waktunya toko buka, justru tiba saatnya rombong Dewi harus tutup.

Dengan cara itu kini Dewi punya hampir 600 outlet. Dalam waktu 10 tahun. Bandingkan dengan Disway. Yang sudah enam tahun: baru punya satu website. Gratisan pula.

Dewi pilih punya jualan tunggal. Fokus: bubur bayi bergizi. Mereknya Anda sudah tahu: tertulis di rombong itu.

BACA JUGA:Antisipasi Kenaikan Inflasi dan Gangguan Tanam

BACA JUGA:Beredar WA Soal Gaji PNS dan PPPK Guru Sumsel Terlambat Masuk 

Saya bertemu Dewi di forum Sekolah CEO yang diadakan Bisnishack Minggu sore lalu. Di Surabaya. Lalu bicara panjang dengannyi kemarin petang.

Semua itu bermula dari saat dia punya anak ketiga. Saat itu Dewi sudah bekerja: membantu akuntansi di perusahaan milik temannyi. 

Maka ketika bayi berumur enam bulan harus pisah dengan ASI, Dewi tidak mau anaknyi yang ketiga itu kekurangan gizi. "Waktu punya bayi pertama dan kedua saya belum bekerja. Bisa menyusui penuh," kata Dewi.

Dia pun cari cara: apakah ada yang jual bubur bayi bergizi. Dewi cari di Google. Dapat. Jauh. Di Rungkut. Apa boleh buat.

BACA JUGA:Deco Bela Kebijakan Transfer Barcelona

Dari situlah Dewi punya ide bikin bubur bayi sendiri. Dia pun berlogika: bikin bubur untuk satu bayi dan untuk banyak bayi sama saja. Maka dia ajukan ide itu ke suami. 

"Kenapa tidak bubur untuk orang dewasa saja?" jawab sang suami seperti ditirukan Dewi. "Bayi bisa makan bubur orang dewasa. Orang dewasa tidak bisa makan bubur bayi," ujar sang suami berlogika.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan