Wewenang Guru Bakal Diambil Alih Pusat, Mendikdasmen Abdul Mu’ti Ungkap Alasan Mengejutkan!

Ilustrasi Foto Guru--
Rel, Jakarta – Pemerintah pusat bakal mengambil alih penanganan tata kelola guru dari pemerintah daerah.
Keputusan besar ini disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam acara halalbihalal bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) baru-baru ini.
BACA JUGA:Teluk Hijau Banyuwangi: Surga Tersembunyi dengan Air Laut Berwarna Zamrud
Mu’ti mengungkap bahwa wacana pengambilalihan ini bukan berasal dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), melainkan dari kementerian lain yang menilai perlunya perubahan sistem demi mengatasi berbagai persoalan krusial seputar guru, seperti perekrutan, pembinaan, hingga distribusi.
"Kenapa ditarik ke pusat? Karena banyak kendala di daerah, terutama dalam rekrutmen, pembinaan, dan distribusi guru," tegas Abdul Mu’ti.
Salah satu contoh nyata adalah program pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kemendikdasmen telah mendorong pengangkatan lebih dari 1 juta guru PPPK. Namun, proses ini sering terhambat karena pemda tak mengajukan usulan secara optimal.
BACA JUGA:Teluk Hijau Banyuwangi: Surga Tersembunyi dengan Air Laut Berwarna Zamrud
Ironisnya, ketika proses tersebut tak berjalan sesuai target, Kemendikdasmen justru sering disalahkan. "Padahal pemda yang punya guru, tetapi pusat yang disalahkan. Ini kan tidak adil," ujar Mu’ti.
Ia menegaskan bahwa pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai regulasi, namun sering kali tidak dijalankan dengan baik di daerah.
Untuk itu, pemerintah pusat merasa perlu mengambil alih agar kebijakan bisa berjalan efektif dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, Abdul Mu’ti juga menyoroti distribusi guru yang tidak merata. Secara nasional, rasio guru dan murid sebenarnya sudah mencukupi.
Tapi di lapangan, masih banyak sekolah kekurangan guru, sementara sekolah lain malah kelebihan.
Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan pemda dalam merotasi guru antarwilayah karena keterbatasan kewenangan.