Lahan Gambut di Sumsel Terus Berkurang
Lahan Gambut.--
REL, Palembang - Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumatera Selatan telah melakukan pencatatan yang mengkhawatirkan hingga tahun 2024 ini. Luasan lahan gambut di provinsi ini, yang mencakup 17 kabupaten dan kota, terus mengalami penurunan yang signifikan.
Menurut Sekretaris TRGD Sumsel, Eko Agus Sugianto, dari luas sekitar 2,1 juta hektare yang dimiliki sebelumnya, kini hanya tersisa sekitar 1,7 juta hektare atau setara dengan 7,55 persen dari total luas gambut di Indonesia, yang mencapai 13,43 juta hektare.
Penyebab utama dari penurunan ini adalah kebakaran yang terjadi setiap musim kemarau, pengelolaan gambut yang tidak sesuai dengan fungsinya, deforestasi, serta alih fungsi lahan gambut untuk kepentingan pertanian, perkebunan, dan lainnya.
Ancaman terus berkurangnya luas lahan gambut Sumsel tidak hanya berasal dari faktor alam, tetapi juga dari kepentingan korporasi dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan ini, TRGD Sumsel telah melakukan berbagai upaya restorasi, termasuk dalam bentuk kerja sama dengan organisasi non-pemerintah (NGO) untuk mengatasi masalah gambut yang terus berlangsung.
BACA JUGA:Polres Lahat Bagi Takjil dan Helm Gratis
BACA JUGA:1 Ranmor, 164 Miras dan 100 Petasan Diamankan Ops Pekat Musi
Fokus utama saat ini adalah pemanfaatan gambut secara berkelanjutan, dengan harapan setiap pihak dapat mengelola lahan gambut sesuai dengan fungsinya. Salah satu langkah konkret adalah memastikan bahwa kawasan konsesi mengikuti ketentuan yang berlaku. Pengelolaan kesatuan hidrologis gambut (KHG) di Sumsel diatur melalui Perda Nomor 1 Tahun 2018 untuk mencegah krisis ekologi seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta banjir.
Yulian Junaidi, seorang akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, menyoroti pentingnya pembentukan desa ekologis sebagai langkah penting dalam merawat dan mengelola KHG. Desa ekologis memiliki sistem pengelolaan yang integratif dan partisipatif, dengan mempertimbangkan tata kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi yang berbasis pada pengelolaan sumber daya berkelanjutan dan kearifan lokal.
Konsep ini tidak hanya memberdayakan masyarakat lokal dalam pengelolaan gambut, tetapi juga relevan dengan upaya membangun kewarganegaraan ekologis atau ecological citizenship. Ini merupakan langkah penting menuju ekonomi berkarbon rendah, sejalan dengan komitmen Indonesia untuk melawan perubahan iklim global.
Dengan kerja sama lintas sektor dan partisipasi aktif masyarakat, diharapkan upaya restorasi dan pengelolaan gambut di Sumatera Selatan dapat memberikan dampak positif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. (*)