Antre Bonek

Disway.--

 Jakarta. Sebenarnya masih terlalu dini dari kebiasaan. Minta maaf pada komentator rebahan yang kirim komentar setelah jam itu. Saya pasti melewatkannya hari itu. 

Saya juga harus menulis naskah untuk Disway. Juga terlalu dini dari jadwal biasanya. Tapi apa boleh buat. Terlalu telat kalau menunggu selesainya sidang. Bisa saja saya tulis sambil antre. Tapi siapa tahu antrean pendek. 

Saya begitu disiplin menjaga deadline Disway. Di mana pun saya berada. Pun di balik dunia ini, yang sore di 

 Jakarta subuh di Amerika. Agar setiap jam 04.00 WIB Disway bisa terbit. Maka ketika membaca ada komentar hari itu jam 04.00 belum terbit saya nyaris jadi Prof Pry. 

Beres. Jam 04.00 Lia sudah bangun. Saya minta maaf membuat tidurnyi lebih pendek. Dia harus membantu saya membukakan pintu luar apartemen. Lia jadi Bu RT di Queens. Biasa terima pengaduan warga jam berapa saja. 

Lia juga yang memesankan Uber sore kemarin. Uber datang tepat waktu: 04.00. Sejenis Alphard. Sopirnya Tionghoa. Saya pun bernihao dengannya. Saya jadi tahu asalnya dari mana di Tiongkok sana. Bagaimana ia menjemput istri dan anak untuk ikut tinggal di Amerika. 

Perjalanan Queens - Manhattan lancar. Setengah jam lagi tidak akan seperti itu --yang biasa komuter Depok-Jakarta akan bisa memahaminya. 

"Tujuan Anda pengadilan?" kata Si Nihao terheran-heran sambil kembali melihat alamat di pesanan. 

"Dui le," jawab saya. Entah bagaimana kok keyboard HP saya ini berubah: tidak bisa menulis huruf kanji. 

Jam 04.45 saya sudah di antrean. Saya hitung sudah ada berapa orang di depan saya: 40 orang.  

Perusuh Mirwan Mirza pasti tidak bisa mengoreksi berapa jumlah tepatnya. Saya juga tidak sungguh-sungguh menghitungnya. Ini bukan naskah seminar. 

Erick belum tiba. Saya tidak ngecek ia sudah sampai di mana. Ia mengemudikan mobil sendiri. Ia harus cari tempat parkir. "Parkir di dekat pengadilan imigrasi saja," pesan Lia kemarin. Lalu memberi petunjuk arah-arah masuk ke gedung parkir itu.  

Sebenarnya Erick sudah sering parkir di situ --mengantar ibunya sebagai pengacara masalah-masalah imigrasi. Erick juga sudah sering ke situ sendirian. Yakni ketika membantu ibunya di urusan administrasi pengadilan. Tapi Erick tetap mendengarkan pesan ibunya dengan baik. Ia tidak pernah memotong, misalnya, dengan kalimat "saya sudah tahu". 

Yang datang untuk antre terus bertambah. Sebelum jam lima pagi sudah 40 orang lagi di belakang saya. Udara dingin. Ini sudah menjelang musim panas. Kok masih dingin. Padahal kemarinnya agak hangat. 

Saya kedinginan di antrean. Apalagi selalu ada angin yang bertiup. Dingin. Dingin. Dingin. Dingin sampai hati.  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan