Penghapusan Jurusan di SMA, JPPI: Sensasi Akhir Jabatan Mendikbud
Istimewa --
REL, BACAKORAN.CO - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengkritik penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA sederajat oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sebagai langkah sensasional menjelang akhir masa jabatannya.
"Sensasi di akhir masa jabatan," kata Ubaid.
Ubaid menilai keputusan ini diambil secara tiba-tiba tanpa dasar kajian yang jelas dan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk guru, masyarakat sipil, orang tua, hingga Dinas Pendidikan.
"Jangan kebijakan itu tiba-tiba. Kecuali hanya cari sensasi saja ya monggo. Apalagi ini di ujung pemerintahan. Kalau menteri yang baru tidak setuju, pasti diubah lagi. Peserta didik selalu jadi korban," ujarnya.
BACA JUGA:Truk Gas Terbakar, Dua Mobil Hangus dalam Kebakaran Besar di Palembang-Betung
BACA JUGA:Sukabumi Hadirkan Destinasi Wisata Terbaru yang Menakjubkan
Ubaid juga mempertanyakan implementasi dan evaluasi kebijakan ini di satuan pendidikan, mengingat kebijakan pemerintah sering kali tidak berjalan efektif di lapangan.
"Ini kaitannya sama alokasi waktu, jam guru yang terpotong, mengatur peminatan siswa, dan lain-lain. Ini harus dijelaskan di sekolah-sekolah teknisnya bagaimana," tuturnya.
Sebagai contoh, Ubaid mengingatkan pada awal penerapan Kurikulum Merdeka, peserta didik diharapkan memilih mata pelajaran yang diminati, namun di lapangan hal ini tidak terwujud.
"Anak masih tiap hari bawa buku paket dengan jumlah mata pelajaran yang banyak dan semua dipelajari dan harus dikuasai," ungkapnya.
BACA JUGA:Waspada Konsumsi Makanan: Kasus Keluarga Terkena Stroke dan Wanita Pingsan di Taiwan.
BACA JUGA:Polres Tanjung Perak Gagalkan Penyelundupan 293 Sepeda Motor Bodong ke Timor Leste
Ubaid mengingatkan agar publik tidak disuguhi dengan kebijakan dadakan tanpa kejelasan teknis dan tujuan yang ingin dicapai.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menyatakan, pada tahun ajaran 2022, 50 persen sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Sementara untuk 2024, tercatat sekitar 90-an persen sekolah yang menerapkannya.