REL,BACAKORAN.CO - Para analis global mengingatkan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, untuk membatasi program bauran biodiesel (B30) hingga level B35. Hal tersebut berdampak pada kebijakan yang terlalu ambisius, seperti rencana untuk meningkatkan bauran biodiesel menjadi B40, terhadap pasar minyak nabati dunia. Hal ini terutama berkaitan dengan melemahnya harga dan ketahanan pasokan minyak kelapa sawit (CPO).
BACA JUGA:Prabowo Tunjuk Gibran sebagai Plt Presiden, Ini Wewenang dan Tugasnya
BACA JUGA:BRI Simpedes: Pilihan Tabungan Rakyat dengan Kemudahan dan Keuntungan Berlimpah
Thomas Mielke, Direktur Eksekutif ISTA Mielke Gmbh, mengungkapkan bahwa pasar global diperkirakan akan bereaksi negatif terhadap kenaikan permintaan biodiesel, terutama di tengah optimisme kenaikan harga CPO pada tahun 2025. Menurut Mielke, produsen global mulai enggan menggunakan CPO sebagai bahan baku utama karena harga yang akan semakin mahal. Dia menambahkan bahwa negara-negara seperti Brasil bahkan mempertimbangkan untuk mundur dari program biodiesel wajib jika harga terus melonjak.
Dalam hal ini, jika Indonesia tetap memberlakukan kebijakan B40, harga CPO dan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, diperkirakan akan melonjak antara 10%-15%. Hal ini dapat mempengaruhi pasokan bagi sektor pangan dan sektor lainnya yang juga membutuhkan minyak nabati. Mielke juga menyoroti stagnasi produktivitas CPO Indonesia yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun 2026, ditambah dengan adanya moratorium di kebun kelapa sawit yang menghambat ekspansi.
BACA JUGA:Mengulik 6 Tradisi Paling Unik dari Berbagai Wilayah di Dunia, Ada Pemotongan Jari di Indonesia!
BACA JUGA:Perampokan Emas 1 Ton Terungkap Gara-gara Ulah Istri, Begini Cerita di Baliknya
Dorab Mistry, Direktur Godrej International Ltd, membayangkan harga CPO akan menembus MYR 5.000 per ton pada semester pertama 2025. Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi di Indonesia dan Thailand, dua produsen CPO terbesar di dunia. Mistry juga mengingatkan bahwa jika harga CPO terus naik, daya saingnya akan tergeser oleh minyak nabati lainnya, seperti minyak canola, rapeseed, dan sunflower.
Julian McGill, Managing Director di Glenauk Economics, juga mencatat bahwa harga CPO yang terus meningkat mencerminkan penurunan pasokan minyak sawit di pasar global. Dengan melambatnya pertumbuhan lahan perkebunan, pasokan CPO Indonesia mengalami stagnasi, yang berdampak pada ekspor. Ekspor CPO Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019 dengan 36,17 juta ton, tetapi sejak itu tidak pernah kembali ke level tersebut. Bahkan, ekspor minyak kedelai ke India kini telah melampaui ekspor CPO pada tahun 2023, menandakan pergeseran preferensi pasar global terhadap minyak nabati lainnya.
Dengan berbagai faktor tersebut, analis memperingatkan agar Indonesia hati-hati dalam memutuskan kebijakan biodiesel lebih lanjut. Jika tren kenaikan harga CPO terus berlanjut, hal itu akan mengurangi permintaan global terhadap CPO, yang akan berdampak pada sektor kelapa sawit Indonesia yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan.***