RAKYATEMPATLAWANG – Rencana penghapusan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menuai perhatian luas, termasuk kritik dari berbagai pihak.
Isa Anshori, seorang pengamat pendidikan, menyatakan kekhawatirannya bahwa langkah tersebut dapat dianggap sebagai ketidakkonsistenan kebijakan pendidikan di Indonesia.
Menurut Isa, perubahan kebijakan pendidikan kerap terjadi seiring dengan pergantian pemerintahan. Hal ini, menurutnya, membuat arah kebijakan pendidikan menjadi maju mundur tanpa visi jangka panjang yang jelas.
"Setiap pemerintah sering kali membawa kebijakan baru, mulai dari kurikulum hingga sistem penerimaan siswa. Ini menciptakan ketidakstabilan yang menghambat kemajuan pendidikan kita," ungkapnya.
Sistem zonasi yang diperkenalkan beberapa tahun lalu bertujuan menghapus stigma sekolah favorit dan memberikan akses pendidikan yang lebih merata. Dengan pendekatan ini, setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau akademis, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Namun, jika sistem ini dihapus, Isa khawatir bahwa seleksi berdasarkan nilai akademis akan kembali mendominasi. “Dulu, tekanan akademis sangat tinggi, bahkan berdampak pada kesehatan mental siswa,” ujarnya.
BACA JUGA:10 Pilihan Jurusan Kuliah Tanpa Matematika untuk Anda yang Anti-Angka
BACA JUGA:Sunhaji Penjual Es Teh, Berkah Tak Terduga Usai Diolok Gus Miftah
Isa juga menyoroti kekurangan dalam pelaksanaan sistem zonasi, terutama terkait infrastruktur pendidikan. Ia menyatakan bahwa tidak semua wilayah memiliki jumlah sekolah negeri yang cukup, sehingga siswa kesulitan mendapatkan tempat sesuai zonasi mereka.
"Penerapan zonasi berbasis kelurahan sering kali tidak ideal untuk semua jenjang pendidikan. Misalnya, untuk SMA, pendekatan berbasis kota atau kabupaten lebih adil," katanya.
Ia menyarankan redefinisi sistem zonasi dengan cakupan wilayah yang lebih luas. Sebagai contoh, daerah perbatasan seperti Waru di Sidoarjo harus diperbolehkan mengakses sekolah di Surabaya yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.
Pendekatan ini diharapkan bisa menjawab tantangan infrastruktur dan memberikan solusi yang lebih fleksibel tanpa mengorbankan prinsip keadilan dalam pendidikan.
Perdebatan ini menjadi bukti bahwa kebijakan pendidikan tidak hanya membutuhkan inovasi, tetapi juga konsistensi dan penyesuaian terhadap kondisi di lapangan.
Pihak pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan dampak jangka panjang sebelum memutuskan untuk mengubah sistem yang ada. (*)