REL,BACAKORAN.CO – Wacana sejumlah pelaku industri pengguna gas bumi yang mengusulkan agar pemerintah mengizinkan impor Liquefied Natural Gas (LNG) secara mandiri dengan tujuan mendapatkan harga lebih murah, mendapat tanggapan negatif dari Pengamat Ekonomi Energi, Komaidi Notonegoro. Menurutnya, kebijakan tersebut bukanlah solusi yang tepat, mengingat adanya banyak komponen biaya tambahan yang harus dipertimbangkan dalam proses impor LNG.
Komaidi yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menjelaskan, meski ada anggapan bahwa harga LNG di negara-negara penghasil seperti Amerika Serikat lebih murah, faktanya harga tersebut masih dipengaruhi oleh banyak faktor. “Jika industri memilih untuk mengimpor sendiri, mereka harus siap menanggung biaya transportasi, proses regasifikasi, hingga biaya tambahan lainnya,” ujar Komaidi.
BACA JUGA: Kadin Ajak Pakistan Tingkatkan Kerja Sama di Sektor Pangan, Energi, dan Kesehatan
BACA JUGA: Pengumuman Hasil Seleksi CPNS 2024 di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Cilacap
Komaidi menambahkan bahwa industri juga harus menanggung kewajiban take-or-pay serta beban keuangan yang harus ditanggung dalam kontrak impor LNG. Semua tahapan tersebut, menurutnya, menyebabkan harga LNG jauh lebih mahal dibandingkan gas alam yang disalurkan melalui infrastruktur pipa domestik.
Selain itu, ia menyoroti penurunan pasokan gas bumi melalui pipa akibat "penurunan alami" pada sumur-sumur tua, seperti yang terjadi di Blok Corridor. Sebagai respon terhadap penurunan pasokan ini, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mengembangkan infrastruktur regasifikasi LNG untuk mengoptimalkan distribusi gas alam ke industri yang sudah melebihi kuota pasokan gas pipa.
BACA JUGA: Pantau Orang Tercinta dengan Mudah: Fitur Canggih Google Maps yang Wajib Anda Coba!
BACA JUGA: Eks Dirut Taspen Antonius Kosasih Ditahan KPK Terkait Kasus Investasi Fiktif 2019
Harga LNG di pasar internasional saat ini berkisar antara USD 16 hingga USD 17 per MMBTU, sedangkan harga gas pipa, di luar program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), dipatok antara USD 10 hingga USD 11 per MMBTU. Menurut Komaidi, meskipun harga LNG lebih tinggi, kebutuhan LNG akan menjadi solusi untuk menjaga kelangsungan operasional industri di tengah terbatasnya pasokan gas pipa.
Komaidi juga berpendapat bahwa harga gas bumi, khususnya LNG, di Indonesia tidak transparan. “Harga sudah mengikuti acuan harga internasional, kecuali jika ada subsidi dari pemerintah yang dapat menurunkannya,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa beberapa pengusaha tengah membuka opsi untuk mengimpor gas dari Timur Tengah, dengan harga yang lebih rendah, yakni sekitar USD 3 per MMBTU. Namun, setelah memperhitungkan ongkos kirim, regasifikasi, dan biaya lainnya, harga tersebut bisa naik menjadi sekitar USD 6 per MMBTU.
BACA JUGA: Anggaran Perjalanan Dinas Luar Negeri Dipotong 50%, Guru Besar UGM Soroti Efektivitas Kebijakan
BACA JUGA: Pantau Orang Tercinta dengan Mudah: Fitur Canggih Google Maps yang Wajib Anda Coba!
Harga gas Eropa pada pengiriman Januari 2025 tercatat mencapai USD 13,4 per MMBTU, sedangkan harga gas AS untuk pengiriman yang sama berada di level USD 3,8 per MMBTU.
Meskipun demikian, Komaidi menyarankan agar pelaku industri mencoba langsung mengimpor LNG untuk sepenuhnya memahami tantangan dan biaya yang harus mereka tanggung dalam proses tersebut. "Jika mereka ingin mencoba, silakan. Biar mereka tahu apakah harga domestik benar-benar mahal atau tidak," simpulnya.***