Berbeda dengan sistem upeti yang berlaku sebelumnya, pajak tanah yang diperkenalkan oleh Raffles bersifat individual dan harus dibayarkan dalam bentuk uang.
Namun, kebijakan ini belum sempat berjalan dengan efektif karena Raffles meninggalkan Hindia Belanda pada tahun 1816.
Setelah itu, pemerintah kolonial Belanda melanjutkan kebijakan pajak dengan penerapan yang lebih ketat.
Pada tahun 1870, mereka mulai memberlakukan berbagai jenis pajak baru seperti pajak pribadi, pajak usaha, dan pajak jual beli.
Yang menarik, pajak ini tidak hanya menyasar masyarakat pribumi tetapi juga orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Namun, seperti banyak kebijakan kolonial lainnya, sistem pajak saat itu lebih menguntungkan pemerintah dan tidak memberikan manfaat yang sepadan bagi rakyat.
Penduduk pribumi tetap menjadi penyumbang terbesar dalam pemasukan pajak pemerintah Hindia Belanda.
Pajak di Era Modern: Sudahkah Berpihak kepada Rakyat?
Setelah lebih dari 200 tahun, sistem pajak di Indonesia terus berkembang. Pajak tidak lagi hanya menjadi alat untuk menambah pendapatan negara, tetapi juga bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan sosial.
Di berbagai negara maju, pajak digunakan untuk mendanai layanan publik seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan, dan transportasi umum yang terjangkau.
Namun, di Indonesia, efektivitas pajak masih menjadi perdebatan. Banyak masyarakat yang mempertanyakan keadilan pajak dan sejauh mana manfaatnya benar-benar kembali kepada rakyat.
Selain itu, ketidakpastian dalam regulasi dan kebijakan perpajakan sering kali membuat masyarakat merasa terbebani.
Dengan sistem pajak yang semakin kompleks dan pengawasan yang lebih ketat, akankah pajak di Indonesia benar-benar dapat menjadi alat pemerataan ekonomi.
Ataukah tetap menjadi beban yang harus ditanggung oleh masyarakat, terutama kelas menengah yang sudahmerasa terjepit.***