Kurangnya Peran Pemerintah dan Sikap Apatisme Masyarakat dalam Pelestarian Batu Megalitik di Kecamatan Pendopo

Senin 09 Jun 2025 - 19:18 WIB
Reporter : M Farrel
Editor : M Farrel

BACA JUGA:Ajak Wujudkan Empat Lawang yang Maju dan Berkeadilan

Yang paling memilukan, menurut Bapak Sulton Bustari—budayawan dan Ketua Lembaga Adat Empat Lawang—batu ini sebenarnya sudah diajukan sebagai cagar budaya. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut berarti. Padahal, keberadaan relief atau gambar di batu ini sangat rentan terhadap degradasi alam. Dalam waktu singkat, warisan ini bisa hilang selamanya.

Apatisme Pemerintah dan Masyarakat

Kedua situs ini adalah representasi konkret bagaimana apatisme telah menjalar dari akar rumput hingga ke institusi pemerintahan. Pemerintah Kabupaten Empat Lawang melalui Dinas Kebudayaan memang pernah datang ke lokasi, tapi kunjungan itu sebatas pengumpulan data dan dokumentasi. Tidak ada program konservasi, tidak ada rencana jangka panjang, bahkan sekadar papan informasi pun tidak disediakan. Jika ada inisiatif, itu datang dari segelintir individu seperti Waton, Mascik, dan Sulton, bukan dari lembaga formal.

Masyarakat pun tak lepas dari tanggung jawab. Minimnya edukasi budaya membuat warga menganggap situs bersejarah ini sebagai "batu biasa" yang tak memiliki makna lebih. Tidak ada upaya kolektif untuk menjaga, mempromosikan, atau bahkan hanya sekadar menghormati keberadaan batu-batu tersebut. Generasi muda tidak dikenalkan dengan cerita atau nilai-nilai yang melekat padanya. Tradisi lisan berhenti di satu generasi. Akibatnya, identitas budaya pun perlahan terhapus.

BACA JUGA:Lapas Empat Lawang Semblih Satu Sapi dan Enam Kambing

Saya bukan siapa-siapa. Hanya jurnalis receh yang kebetulan punya ketertarikan pribadi terhadap sejarah dan kebudayaan. Perjalanan saya menyusuri dua situs ini lebih dari sekadar eksplorasi fisik. Alasannya sederhana: penasaran. Tapi dari perjalanan ini, saya pulang dengan lebih dari sekadar catatan lapangan. Saya pulang dengan rasa kecewa, prihatin, dan segunung tanya: kenapa kita begitu mudah melupakan masa lalu? Ini adalah napak tilas terhadap warisan yang seharusnya menjadi kebanggaan daerah, tetapi justru dibiarkan usang. Saya bertemu dengan tokoh-tokoh lokal yang gigih menjaga ingatan kolektif masyarakat, meski mereka seperti berteriak di ruang hampa.

Kita sering membanggakan "kekayaan budaya Indonesia" di forum-forum resmi dan dokumen-dokumen akademik. Tapi bagaimana kita bisa bicara tentang pelestarian jika di lapangan, peninggalan sejarah yang otentik dibiarkan rapuh dan terabaikan?

Sikap apatis adalah musuh utama pelestarian budaya. Ketika masyarakat tidak peduli dan pemerintah hanya menjalankan formalitas, maka warisan budaya akan punah dalam diam. Kita akan kehilangan bukan hanya batu dan relief, tapi juga identitas dan akar sejarah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa depan.

BACA JUGA:Perkuat Literasi Keuangan CPNS Melalui Program GENCARKAN

Harus ada upaya nyata. Pemerintah harus berhenti membuat program yang sekadar menggugurkan kewajiban. Pendidikan budaya harus kembali masuk ke ruang-ruang publik dan sekolah. Dan masyarakat harus diberdayakan sebagai penjaga warisan sejarah, bukan sekadar penonton yang acuh.

Karena sejarah bukan sekadar masa lalu yang dibingkai. Ia adalah fondasi untuk masa depan yang lebih bermakna.

Selain dua batu tadi, saya juga mendapatkan banyak sekali stories, insight, dan knowledge seputar sejarah, adat, tradisi, dan ritual di Kabupaten Empat Lawang. Diskusi bersama ketiga orang hebat tadi—Pak Mascik, Pak Waton, dan Pak Sulton—adalah bagian paling seru dalam "petualangan" saya. Bagian paling menarik bukan pada apa yang kami diskusikan, tapi pada siapa saya berdiskusi. Ada semacam tamparan kecil dalam diri saya: bahwa pandangan saya yang serba instan dan modern ini hanyalah sepotong kecil dari kisah mereka yang penuh pengalaman dan kebijaksanaan.

BACA JUGA:Pj Bupati Lepas Pawai Takbir Keliling

Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan siapa pun. Bukan pula untuk menyalahkan pemerintah atau masyarakat secara membabi buta. Ini adalah bentuk kritik dan kepedulian saya terhadap pihak-pihak yang seharusnya menjadi pemeran utama dalam merawat dan menjaga tidak hanya Batu Betiang dan Batu Bergores Jarakan, tapi seluruh bentuk kekayaan sejarah dan budaya yang kita miliki di Empat Lawang. Kita tidak bisa mengulang sejarah, tapi kita bisa memeliharanya agar tetap hidup dan bermakna untuk generasi yang akan datang.

Tulisan receh saya ini, saya tulis melalui kacamata amatir yang melihat kondisi kedua batu tadi. Jadi jika terdapat kesalahan informasi atau ketidakakuratan data, itu menjadi tanggungjawab saya sepenuhnya bukan narasumber yang menjadi sumber informasi saya. (Rel)

Tags :
Kategori :

Terkait