Kurangnya Peran Pemerintah dan Sikap Apatisme Masyarakat dalam Pelestarian Batu Megalitik di Kecamatan Pendopo

Senin 09 Jun 2025 - 19:18 WIB
Reporter : M Farrel
Editor : M Farrel

REL, Empat Lawang - Di tengah hiruk-pikuk modernisasi dan gempuran arus informasi digital, warisan budaya sering kali hanya menjadi deretan gambar di buku pelajaran atau menjadi bahan nostalgia di acara seremonial. Ironisnya, di negeri yang kaya akan jejak sejarah seperti Indonesia, sikap apatis terhadap peninggalan masa lalu justru makin menjadi.

Begitulah potret muram yang saya temui di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, dalam perjalanan menelusuri dua situs bersejarah: Batu Betiang di Desa Manggilan dan Batu Bergores Jarakan di Desa Jarakan, Kecamatan Pendopo. Keduanya adalah saksi bisu peradaban masa lampau—namun keduanya pula kini nyaris dilupakan.

Batu Betiang: Meja Leluhur yang Terpinggirkan


Batu Betiang.--

Batu Betiang berada di belakang Madrasah Tsanawiyah di Desa Manggilan. Letaknya tersembunyi di balik kebun-kebun warga, tanpa penanda, tanpa penjaga. Warga menyebutnya "betiang" karena batu besar itu ditopang semacam tiang alami, membentuk struktur yang sekilas tampak seperti meja batu. Namun dari percakapan saya dengan Bapak Mascik, seorang tetua dan tokoh masyarakat desa, dan Bapak Waton, aktivis wisata lokal, saya mendapati bahwa batu ini jauh lebih bermakna daripada bentuknya yang sederhana.

BACA JUGA:Kapolsek Paiker Tinjau Persiapan Lokasi Panen Raya Jagung Nasional di Talang Randai

Konon, Batu Betiang telah ada sejak masa akhir Kerajaan Majapahit dan menjadi tempat pertemuan masyarakat adat kala itu. Versi lain menyebut batu ini dibawa oleh seorang sakti mandraguna dari desa lain sebagai bukti kekuatan spiritualnya. Sementara legenda lain mengaitkan batu ini dengan dua perantau dari Demak yang menetap di Desa Manggilan dan menyebarkan keturunan hingga ke desa-desa sekitar seperti Batu Cawang, Gunung Meraksa, dan Beruge.

Secara fungsional, batu ini diperkirakan pernah digunakan sebagai altar sesaji atau tempat bermusyawarah. Kawah di bawah batu menunjukkan aktivitas berulang di masa lalu, kemungkinan besar terkait ritual atau tradisi adat. Namun kini, tidak ada ritual, tidak ada edukasi budaya, dan tidak ada yang mengajarkan generasi muda tentang fungsi sakral batu tersebut. Masyarakat sekitar menganggapnya hanya sebagai batu biasa yang kebetulan besar dan unik.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah minimnya pengawasan. Mascik bercerita soal sekelompok orang asing yang mengaku peneliti, datang dan membatasi akses ke batu dengan garis pembatas dan terpal. Setelah beberapa hari, mereka menghilang tanpa jejak. Diduga mereka adalah pemburu artefak yang mencari benda-benda peninggalan sejarah bernilai tinggi untuk dijual secara ilegal. Tidak ada laporan resmi. Tidak ada pengusutan. Bahkan masyarakat pun tidak merasa kehilangan.

BACA JUGA:Empat Lawang Kekurangan 2000 Lebih Pegawai

Batu Bergores Jarakan: Relief Purba yang Terancam Lenyap


Gambar di Batu Bergores Jarakan.--

Berbeda dengan Batu Betiang, Batu Bergores Jarakan berada di lokasi yang lebih menantang. Untuk mencapainya, saya harus mendaki bukit curam dan menyusuri jalur setapak yang tidak terawat. Berkat bantuan Waton, saya tiba di lokasi di mana terdapat tiga batu besar. Batu kedua menjadi pusat perhatian karena memiliki relief atau goresan mirip lima jari atau kepala manusia. Sayangnya, tidak ada kejelasan ilmiah mengenai makna simbol tersebut karena belum pernah ada kajian arkeologis yang serius dilakukan.

Menurut pengamatan saya, Batu Bergores Jarakan memiliki potensi besar, bukan hanya sebagai objek pelestarian budaya tapi juga sebagai destinasi wisata sejarah. Namun lagi-lagi, tidak ada upaya signifikan dari pemerintah daerah. Vegetasi liar tumbuh di sekitar batu, dan tidak ada satu pun papan informasi yang menjelaskan konteks sejarah atau nilai arkeologis batu tersebut. Bahkan batu ketiga hampir sepenuhnya tertutup lumut, menandakan ketidakpedulian total terhadap pelestarian.

Padahal, berbeda dengan warga Manggilan, masyarakat Jarakan justru antusias terhadap keberadaan batu ini. Mereka ingin melestarikannya, ingin mengenalkan kepada generasi muda. Tapi apa daya, mereka tidak memiliki dukungan struktural. Tanpa bantuan pemerintah, semua hanya angan.

Tags :
Kategori :

Terkait