Oleh: Dahlan Iskan
PAGI-PAGI saya olahraga lagi. Satu jam lagi. Di bagian depan kamar. Saya bawa speaker kecil –sekecil korek api yang saya beli di Beijing tempo hari. Saya punya stok lagu di memori HP. Satu jam, 22 lagu.
Sudah dua hari tidak olahraga. Baru di Buraydah ini bisa olahraga. Langsung malamnya dan paginya.
Di hotel di Makkah tidak boleh suarakan musik. Saya coba olahraga di depan kamar pakai musik. Ketahuan. Didatangi petugas. Dilarang. Olahraga saya teruskan. Tanpa musik. Boleh.
Di Buraydah udara terasa lebih kering. Sambil olahraga yang terpikir cara meneruskan perjalanan ke Riyadh.
BACA JUGA:Rumdin Akan Dijadikan Kompleks Pertanian Hidroponik
BACA JUGA:Hadiahkan Umroh Bagi Kafilah Juara Ditingkat Provinsi
Saya belum tahu ada kereta jam berapa saja. Reception hotel juga tidak tahu. Lebih baik pagi-pagi langsung stasiun. Dari pada menyesal belakangan.
"Bagaimana cara cari taksi ke stasiun?"
"Punya Uber?"
"Tidak punya".
Ia garuk-garuk kepala. Lalu mengelus jenggot. Diam menerawang. Berpikir keras. Lama.
"Saya bisa panggilkan taksi. Tapi ... mahal".
Ups.
"Seberapa mahal?"