“Seratus riyal".
Ganti saya yang garuk kepala. Mau meraba jenggot tidak punya bulu di janggut. Terdiam. Lama.
"Ok" kata saya lirih. "Ke stasiun saja kok 100 riyal" kata saya dalam hati.
Logika saya salah lagi. Seharusnya stasiun kereta di tengah kota. Ternyata tidak di Buraydah. Stasiun kereta Buraydah tidak di Buraydah. Tidak pula di kota lain sekitarnya. Stasiun ini di tengah padang pasir yang luas: 50 km dari kota.
Berarti 100 riyal tidak mahal: tidak ada pilihan lain. Hampir saja mau jalan kaki dari hotel –setelah coba berdiri di pinggir jalan tidak menemukan angkot. Ternyata segini jauhnya.
Stasiun ini baru: setelah Covid-19. Cantik. 3-i. Ia satu-satunya bangunan di lautan pasir nan luas itu. Semua penumpang datang diantar mobil. Saya langsung ke loket penjualan tiket.
"Penuh," ujar petugas loket.
"Yang siang?"
“Penuh".
"Sore?"
“Penuh semua. Sepanjang hari".
BACA JUGA:Wisata Tower Ampera Bakal Jadi Destinasi Dunia
Saya garuk-garuk kepala. Agak keras. Agak lama. Biar ia lihat bahwa saya lagi yatim piatu.
Saya menyesal tidak menahan si 100 Riyal. Agar tunggu dulu di stasiun –sampai saya pasti dapat tiket.
Logika saya salah lagi. Ini memang hari Minggu tapi kan hari kerja. Mestinya tidak banyak penumpang. Di Saudi weekend-nya Kamis malam. Liburnya Jumat dan Sabtu.