"Saya berangkat kemarin sore. Menginap di Manhattan," ujarnyi. Juga lebih setengah baya. Ceriwis. Banyak cerita. Dengan suara tidak lirih. Apa saja diceritakan. Dia seperti Leong Putu --sebaliknya. Banyak yang dia ceritakan itu tentang kebaikan suaminyi.
BACA JUGA:Presiden Iran Ebrahim Raisi Dilaporkan Tewas dalam Kecelakaan Helikopter Teheran, 20 Mei 2024
BACA JUGA:Anggota Satgas Damai Cartenz Tangkap Anggota KKB Lupa Waker di Papua Tengah
Tapi sang suami ditinggal ke Manhattan untuk antre lihat diadilinya Presiden Donald Trump.
Antrean kian panjang. Sudah satu jam lagi dari adegan di bawah pohon.
Air yang saya minum sejak bangun tidur lebih satu liter. Yang sudah diekspor baru 300 mili. Selebihnya harus cari jalan keluar.
Satu jam berikutnya tidak tahan lagi. Petugas datang ke tempat Antrean. "Jangan meninggalkan antrean," teriaknya beberapa kali.
Erick, putra tunggal Lia dan James F Sunday sudah bersama saya. Saya lirik tangannya: memegang botol minuman. Masih ada airnya. Sedikit. Botol itu saya minta.
"Untuk apa?"
"Ada deh".
Ia berikan botol itu. Saya buang airnya. Ia pun tahu --mestinya. Saya ke balik pohon lagi.
Saya juga terpikir fikh Islam seperti perusuh M Zainal Arifin di komentarnya kemarin. Tapi fikh juga mengatur hal-hal darurat. Trump yang bikin fikh darurat.
"Anda dari partai Republik?" tanya saya pada Si pirang.
"Saya Demokrat".
"Anda Republik?" tanya saya ke Si ceriwis.
"Demokrat". Lalu ceramah soal mengapa Demokrat.