Oleh: Dahlan Iskan
PENDIDIKAN membuat orang tahu. Pengalaman membuat orang berbuat. Contohnya Jakarta. Anda sudah tahu: polusi di Jakarta termasuk paling parah di dunia.
Anda juga sudah tahu penyebabnya: knalpot. Yang di bawah mobil maupun motor Anda. Bukan knalpot yang di bawah perut perusuh Disway.
Setelah tahu semua itu, siapakah yang harus berbuat untuk mengatasinya? Apakah akan berhenti di sebatas sudah tahu? Lalu tidak perlu tergerak untuk berbuat mengatasinya?
Anda secara pribadi pasti tidak mau berbuat apa-apa. Penyebabnya: Anda punya kepentingan pribadi untuk pilih tidak berbuat.
BACA JUGA:Kejutan Kapolda Sumsel Irjen Rachmad Wibowo di Hari Bhakti Adyaksa ke-64: Sinergitas Makin Solid
BACA JUGA:Pj Bupati Hadiri Apel dan Simulasi Karhutla Sumsel
Anda mau dan ingin serba cepat. Juga mau hidup lebih nyaman. Tidak mau jalan kaki. Tidak mau naik kendaraan umum.
Tersedia banyak alasan –tinggal pilih alasan yang mana. Panas. Rumah jauh. Tidak mau kehujanan. Tidak mau berdesakan. Masih ada seribu alasan lainnya.
Sebenarnya ada alasan yang membuat Anda tergerak untuk ikut berbuat: polusi itu akan (atau telah?) mengancam paru-paru Anda. Tapi siapa yang peduli paru-paru? Toh tidak ada kematian mendadak akibat gangguan paru-paru.
Maka tinggal satu yang harus berbuat: pemerintah. Pemerintah yang mana?
DKI Jakarta? –mungkin ini kesempatan terakhir saya pakai kata ''
DKI Jakarta''. Bulan depan sudah tidak ada lagi kata DKI.
Tidak mungkin. Gubernur Jakarta takut melakukan perbuatan untuk menyetop polusi. Siapa pun gubernurnya –kecuali kita bisa menghidupkan kembali Ali Sadikin.
Sepanjang gubernur masih dipilih rakyat, pasti takut tidak terpilih lagi. Perbuatan menyetop polusi