Oleh: Dahlan Iskan
Di masa injury time pemerintahan Jokowi ini proses permintaan penambahan modal negara untuk perusahaan milik negara seperti dipercepat.
Begitu banyak perusahaan negara yang minta tambahan modal. Semuanya harus lewat persetujuan DPR.
Kelihatannya DPR, yang juga hampir berakhir, ikut mempercepatnya. Cepat bertemu cepat --awas, bisa tabrakan.
Tidak akan tabrakan. Itu memang sesama cepat tapi searah. Hanya beda keinginan dan beda harapan.
BACA JUGA:Remaja Berinisial ME, Anak Polisi, Ditangkap Karena Pencurian Handphone
BACA JUGA:Upaya Polres Mura: Patroli dan Pemasangan Spanduk Larangan Karhutla di Desa-desa
Sebuah lembaga keuangan pun minta tambahan modal dari negara: Rp 10 triliun. Itulah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia --dulunya disebut Bank Ekspor Impor Indonesia.
Lembaga keuangan yang harusnya cari uang untuk negara, justru minta uang dari negara. Alasannya sangat idealistis: agar kapasitas pembiayaan untuk mendorong ekspor bisa lebih baik.
Memang, negara baru bisa maju kalau ekspornya kuat. Eksporter perlu dukungan dana. Dalam bentuk kredit. Maka dibentuklah LPEI. Mungkin untuk ”menyindir” bank umum milik negara: mengapa tidak cukup membantu eksportir.
Samar-samar saya menemukan alasan lain mengapa LPEI minta suntikan dana negara: kredit bermasalah di LPEI luar biasa besar. Akibatnya LPEI tidak cukup punya uang untuk bisa muter. Tidak ada lagi dana untuk mendorong eksportir yang perlu didorong.
BACA JUGA:Menag Yaqut Cholil Qoumas Resmi Menutup Operasional Ibadah Haji 1445 Hijriah/2024 Masehi
BACA JUGA:Di Kota Ini, Kepala Sekolah yang Rekrut Guru Honorer Tanpa Rekomendasi Disdik Bakal Kena Sanksi
Maka menarik membaca salah satu alasan agar permintaan PNM Rp 10 triliun itu dikabulkan DPR. Seperti cuci tangan. Ada kalimat yang bunyinya kurang lebih begini: direksi yang sekarang sudah bersih dari orang-orang yang terkait dengan dana-dana bermasalah di masa lalu itu.
Nilai yang bermasalah itu memang ngudubilah besarnya. Sekitar Rp 50 triliun. Akan diapakan uang bermasalah itu?