Aplikasi Sopir
Dahlan Iskan foto bersama di resto hot pot bubur di Tiongkok.--
Malam itu menunya baru –untuk saya. Hotpot, tapi bukan mirip Haidilao. Juga, tidak mirip gaya Sichuan, Mongolia, maupun Niu Jie-nya muslim Beijing.
Ini hotpot bubur.
Ada bubur nasi encer di panci di tengah meja. Kompornya listrik. Bubur mendidih. Panas. Uap mengepul. Irisan-irisan ikan kerapu dimasukkan ke bubur itu. Diaduk. Matang. Irisan ikannya diangkat. Disajikan.
Fillet ikan itu dimakan dengan ramuan bumbu seperti di Haidilao. Ada sembilan bahan ramuan. Pilih sendiri kombinasinya.
Saya pilih kombinasi saus wijen, bawang putih, taoco, saus tomat, dan dua jenis irisan daun bawang. Saya tidak memasukkan cabai, cuka, dan beberapa jenis minyak.
Sementara kami makan fillet ikan itu, giliran udang dimasukkan ke bubur. Diaduk. Masak. Udang diangkat. Dibagi. Saya meneruskan makan ikan. Tidak makan udang.
Sehari sebelumnya saya sudah banyak makan udang. Masakan istri saya. Hasil panen udang di Lombok Timur.
Belum lagi udang habis dimakan, ganti beberapa jenis seafood dimasukkan ke bubur: irisan bao yi (abalone), oyster, dan cumi. Diaduk. Matang. Disajikan.
Lalu, dimasukkan lagi daging. Diaduk. Bubur nasinya kian lembut. Kian panas. Masih beberapa macam lagi yang dimasukkan ke situ.
Masih ada hati angsa, ikan goreng fillet, baby buncis, dan bumbu wasabi.
Kapan makan buburnya?
Terakhir! Ketika bubur itu sudah lumat selumat-lumatnya. Sudah pula gurih karena berbagai rasa seafood sudah menyatu di dalamnya.
Kami pun menutup makan malam dengan bubur panas.
Makanan habis. Anggur merah habis. Bai jiu pun gan bei le.
Kami terseok ke gedung parkir. Terlalu kenyang. Sambil berjalan, mereka membuka aplikasi. Mencari sopir panggilan.