Melawan Stigma Gender
![](https://rakyatempatlawang.bacakoran.co/upload/aee47385c0519b95ffe463f7e6135100.jpg)
DISKUSI: Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Ikatan Pemuda Penggerak Desa (IPDA) Sumsel di Café Gunz, Kambang Iwak, pada Sabtu (19/10/2024). Foto: dok/ist--
REL, Palembang – Stigma lama yang menempatkan perempuan hanya dalam peran domestik, seperti di dapur, sumur, dan kasur, tampaknya semakin tidak relevan di era globalisasi saat ini.
Namun, diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi, termasuk di kota Palembang.
Isu ini menjadi sorotan dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Ikatan Pemuda Penggerak Desa (IPDA) Sumsel di Café Gunz, Kambang Iwak, pada Sabtu (19/10/2024), dengan tema "Menakar Kepemimpinan Perempuan di Kota Palembang."
Ketua Pelaksana FGD, Apri Saputra, menegaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi serta menyebarkan informasi mengenai diskriminasi yang masih dihadapi perempuan, khususnya di Palembang.
BACA JUGA:Pengurus BAPOR KORPRI Tiga Daerah Dilantik
BACA JUGA:Banyak yang Nggak Tau, Ini 7 Misteri Mengerikan dari Suku Maluku yang Menantang Logika
“Dengan FGD ini, kami berharap bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama perempuan, bahwa mereka bisa maju dan setara dengan laki-laki, bukan hanya terbatas di peran domestik,” ujar Apri.
Ia juga menambahkan bahwa perempuan sering kali masih dipandang sebagai sosok yang terbelakang, meskipun sebenarnya mereka memiliki potensi kepemimpinan yang kuat.
"Melalui diskusi ini, kita bisa mengukur sejauh mana kemampuan perempuan untuk menjadi pemimpin, khususnya di Palembang," jelasnya.
Aktivis perempuan kota Palembang, Yui Zahana S.Sos, juga turut memberikan pandangannya dalam diskusi tersebut.
Menurut Yui, pandangan yang membatasi perempuan pada peran domestik adalah pemikiran kuno yang tidak lagi relevan di zaman modern ini.
"Pemikiran bahwa perempuan hanya boleh bergerak di ruang domestik dan tidak di ruang publik masih merupakan bentuk diskriminasi gender yang terjadi hingga sekarang," ungkapnya.
Yui menegaskan bahwa ketika berbicara tentang pemimpin, tidak seharusnya jenis kelamin menjadi faktor penentu.
“Apapun gendernya, yang seharusnya dilihat adalah kualitas dan kompetensinya. Perempuan juga memiliki akses yang sama untuk menjadi pemimpin,” tegasnya.