Powerful Kejagung

--

Oleh: Dahlan Iskan 

Yang pertama merespons pertanyaan saya adalah Prof Dr Busyro Muqoddas. Ia setahun lebih muda dari saya. Prof Busyro adalah anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama periode Abraham Samad.

Jawaban Prof Busyro lebih mirip doa. Mungkin pertanyaan sayalah yang kurang ''menggoda'': "saya amati Kejaksaan Agung kok begitu serius mengusut banyak hal soal korupsi. Apakah benar-benar-benar serius? Pertanda perbaikan penegakan hukum dimulai dari Kejagung?

Soal pagar laut, mestinya kan nggak berani lanjutkan. Kok berani? Lalu soal sawit. Soal Pertamina. Soal timah. Banyak lagi. Kok seperti nggak takut pada backing mereka. Bisakah kita berharap perbaikan dimulai dari Kejagung sekarang?"

Jawab beliau: "Semoga saja presiden dibisiki oleh yang anti penjilatan, sehingga terbuka hidayahNya. Sehingga berani menyegarkan Kejaksaan, Polri, dan KPK".

Mungkin itu bukan doa. Itu semacam sindiran ala Yogyakarta. Prof Busyo memang orang Yogya. Lahir di Yogya. Jadi sarjana hukum di Universitas Islam Indonesia (UI-nya Islam) Yogya. Setelah S-2 di UGM ia kembali ke UII ambil S-3 dan menjadi guru besar.

Alumnus UII lainnya, menjawab senada: Prof Dr Mahfud MD. Jawabnya: "Kita berharap, Pak. Kejagung bisa terus galak kepada koruptor. Namun catatan kita sampai sekarang, jika sudah akan menyentuh koruptor, yang sebelumnya katanya akan disikat sampai ke atas, ternyata berhenti dan tak ada kelanjutan. Kita tunggu perkembangannya. Kita berharap agar Pak Prabowo terus berkomitmen."

Saya agak sering bertemu Pak Mahfud. Terakhir menjelang Lebaran lalu: diundang ke podcast beliau. Di halaman belakang salah satu kantornya di Jakarta. Kami senasib dalam hal pencapresan. Beliau lewat jalur hijau, saya lewat jalur biru.

Tidak. Tidak senasib. Beliau lebih baik. Beliau akhirnya benar-benar jadi cawapres. Beneran. Lewat jalur merah. Artinya: stop. Lampu merahnya menyala: sampai di situ saja.

Abraham Samad juga sempat disebut-sebut sebagai calon cawapres delapan tahun lalu. Modalnya: reputasi tinggi ketika menjabat ketua KPK. Hanya saja ia tidak sampai masuk putaran gelanggang.

Kini Abraham berkibar dengan podcast-nya: Speak Up. Beberapa kali saya diundang ke Speak Up tapi selalu belum cocok waktu.

Saya mengajukan pertanyaan yang sama kepada doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu. Jawabnya: baca sendiri berikut ini.

"Masih terlalu prematur menyimpulkan, karena kasus yang ditangani tidak dituntaskan sampai selesai. Hanya memilih yang lemahnya dijadikan tersangka. Seperti kasus timah, yang dijadikan tersangka dan dibawa ke pengadilan hanya yang kelas bawahnya. Yang intellectual dader-nya tidak diseret ke pengadilan."

Yang menjawab agak panjang adalah Boyamin Saiman, ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, MAKI, yang kini memilih lebih senang menjadi detektif partikelir. Terakhir ia menjalankan peran detektifnya ke beberapa negara Eropa. Ia lagi menelusuri uang terkait perkara di Indonesia.

Boyamin mengaku mengamati secara khusus kejaksaan agung sejak kasus Djoko Tjandra.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan