Embun Suriah

--
Embun Suriah
Oleh: Dahlan Iskan
Ekonomi rakyat mulai hidup. Jalan mulai macet. Tapi listrik baru menyala dua-tiga jam sehari.
Itulah keadaan ibu kota Suriah atau Syria, Damaskus. Sekarang ini. Yakni enam bulan setelah perang saudara berakhir –dengan tergulingnya diktator dinasti Bashar al-Assad.
Yang menceritakan itu sahabat Disway yang sering ke sana: Gus Najih Arromadloni. Ia mengalami tiga zaman di sana: zaman stabil di bawah Bashar al-Assad, zaman perang saudara dan zaman baru sekarang ini.
Gus Najih –artinya sukses– tidak sukses lulus kuliah di Damaskus. Kurang sedikiiiiit lagi. Keburu meletus perang saudara yang berlarut-larut. Gus Najih pulang. Ia menyelesaikan S-1 nya di Indonesia: di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Gus Najih lahir di Losari, Brebes. Ayahnya guru ngaji. Juga petani udang –khas orang pesisir Brebes. Dari Brebes ia masuk pesantren di Sarang, Rembang. Ia ngaji di kiai besar di sana: Mbah Maimoen.
Sebagai mahasiswa asing, Gus Najih terkesan dengan zaman Basyar Al-Assad: serba ada dan serba murah. Juga stabil. Aman.
Tentu Najih tidak berkepentingan dengan sistem pemerintahan di sana. Diktator atau demokrasi bukan urusan mahasiswa asing. Tahunya belajar: di Universitas Ahmad Kuftaro, Damaskus. Ia ambil jurusan dakwah dan komunikasi. Lalu menambah ilmu sendiri lewat kajian di masjid terkemuka di sana: masjid Al-Iman. Tiap Senin dan Kamis. Kamis untuk ilmu tafsir Quran, Senin untuk sejarah Nabi Muhammad (sirah Nabawi).
Kiai yang mengajar Senin-Kamis itu Anda sudah tahu namanya: ulama terkemuka Suriah, Syaikh Said Ramadhan al-Buthi. Kitab yang ditulisnya lebih dari 30. Terkenal semua. Ia ahli fikih, tafsir, dan filsafat. Ia jadi rujukan ulama dunia.
Beliau tewas.
Serangan bom bunuh diri menyasar masjid itu. Tepat di saat Syaikh mengajar ilmu tafsir. Di tahun 2013. Di saat usia Syaikh 84 tahun. Literatur lain mengatakan itu serangan udara.
"Saat peristiwa itu saya sudah kembali ke Indonesia," ujar Gus Najih. "Saya menangis mengikuti berita pengeboman masjid Al-Iman," tambahnya.
Bom itulah yang menewaskan Syaikh Al-Buthi. Darah Syaikh sampai membasahi halaman Quran yang sedang dikaji. Beberapa guru dan teman Gus Najih ikut tewas. Termasuk teman-temannya saat berbagi takjil untuk buka puasa Senin dan Kamis.
Setiap kali Gus Najih ke Damaskus, ia ziarah ke makam Syaikh Al-Buthi. Makamnya di sebelah panglima Perang Salib legendaris, Salahuddin Al Ayyubi.