Risang Bima

Risang Bima.--

Oleh: Dahlan Iskan 

COPET-copetan belum selesai. Bahkan ada pencopet yang kemudian dirampok. Tapi semuanya akan selesai dengan damai. Tanggal 20 Maret depan hasil Pemilu harus diumumkan. 

Itulah yang terjadi di Madura. Mungkin tidak di seluruh Madura. Di beberapa tempat tidak terjadi seperti itu. 

''Itu sudah biasa. Sejak dulu. Sampai sekarang,'' ujar Risang Bima SH.  

''Copet yang dirampok'' tadi adalah istilah Risang untuk keadaan hilang-tambahnya suara di sana. 

BACA JUGA:Waka Polres Pimpin Apel Pengamanan Sidang Pleno

BACA JUGA:Partisipasi Masyarakat Sangat Berperan Dalam Musrenbang

Sejak jadi wartawan Risang sudah terkenal pemberani. Risang adalah sedikit wartawan yang masih bekerja untuk kepentingan umum. Apa pun risikonya. Termasuk dimarahi, dibuntuti, sampai diancam dibunuh. Berkali-kali. Sampai redakturnya yang justru takut. Padahal redaktur jauh dari lokasi pejabat yang "dihantam'' Risang. 

Puncaknya Risang frustrasi: tulisan ternyata tidak mengubah keadaan. Sudah ditulis tiap hari pun tetap saja pejabatnya tebal muka. Kritik sekeras apa pun tidak ada gunanya.  

Maka ia berhenti sebagai wartawan.  

Ia ingin membela rakyat secara langsung. Ia jadi pengacara di Bangkalan, Madura. Bukan pengacara komersial. Ia jadi pengacara yang membela rakyat. Nama kantor hukumnya: Rumah Advokasi Rakyat (RAR). Motonya, (bacalah dengan hanya lirikan mata): Fuck the System.

BACA JUGA:9 Buah yang Paling Banyak Mengandung Vitamin C 

Risang memang masih berpegang pada prinsip lamanya: cara biasa tidak akan bisa menyelesaikan persoalan.  

Di pemilu tahun ini Risang dapat pekerjaan advokasi dua caleg di Bangkalan. Yakni caleg yang tiba-tiba suaranya berkurang.  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan