Loncatan Saud
Loncatan Saud.--
"Saya pikir sudah banyak wanita yang pakai you can see," tambah saya pada Riyadh.
Riyadh tampak tertawa kecut. Seperti mengejek saya. "Yang tertutup itu bisa lebih menarik dari yang dibuka-buka," gumamnya.
BACA JUGA:Paulo Dybala Tawarkan Diri ke Barcelona?
Riyadh kota besar sekali. Selama dua hari itu saya ke sudut-sudutnya. Jangan dikira hanya ke stadion An Nassr dan stadion Al Hilal. Saya bukan fans Ronaldo apalagi Neymar yang manja itu.
Saya ditenteng ke tempat rekreasi di padang pasirnya yang jauh itu: Red Sand. Satu jam dari Riyadh. Bagus. Tidak sampai tiga menit di situ. Saya minta ke yang lain lagi. Mungkin karena saya sudah jenuh dengan pemandangan padang pasir. Sudah sejak dari Madinah ke Riyadh.
"Tidak ambil foto dulu?"
"Tidak".
BACA JUGA:West Ham United Keok 1-0 dari Freiburg
Melihat padang pasir itu rasanya sudah seperti Jokowi lihat Megawati.
Pindah ke yang lain saja. Ke Bujairi. Seperti yang direkomendasikan oleh Wakil Duta Besar Sugiri Suparwan.
Itu baru. Renovasinya masih belum sepenuhnya selesai. Istana kuno. Terbuat dari tanah. Pernah seperti kompleks Garuda Wisnu Kencana: jadi lokasi KTT G-20. Yakni KTT yang bersejarah: di tengah pandemi Covid-19. Setengah virtual.
Saya suka Bujairi. Lokasi ini mengesankan. Kita seperti dibawa ke masa nan lalu. Nan nan lalu: ke nun masa kerajaan Saud pertama. Sebelum Saudi dikuasai Turki Usmani. Sebelum era kerajaan Saud kedua. Kita bisa rasakan loncatan zaman: dari Saud pertama ke Saud ketiga saat ini. Dari zaman serba tanah ke serba digital.
Cadar wanitanya yang mungkin masih serupa.
Lokasi ini dibuat dua bagian. Dipisahkan oleh jembatan-wisata. Jauh di bawah jembatan itu ternyata jalan raya. Begitu dalamnya posisi jalan itu sampai suara lalu-lintasnya tidak mengganggu sama sekali.
Lomba balap Formula-E melewati jalan pembelah zaman itu.