saya masih penasaran, siapa yang memelopori konsep harus pulang baru disebut nasionalis... wong di sini saja ga ada perlakuan seperti itu... orang madura di luar madura ga harus pulang untuk tetap disebut madura... orang padang pun demikian... yang penting mereka tetap berkontribusi untuk daerah/negaranya... betul/tidak...?
djokoLodang
Jadi ingat Remy Silado. Majalah Aktuil jaman dulu. 23761. Dia bilang perjakanya hilang pada tanggal 23 Juli 1961, ---
Gregorius Indiarto
Pulang lah sebagai mesin, bukan sebagai sekrup. Dan mudah mudahan mesin itu berfungsi sebagaimana mesti nya, tidak hanya menjadi mesin pajangan, yang hanya mangkrak. Met pagi, salam sehat, damai dan bahagia.
Imam Hanafi
BACA JUGA:Kawasan BKB Palembang Dapat Sorotan Negatif
BACA JUGA:Tongkang Batu Bara Tersangkut di Jembatan Ampera
Saya sama sekali tidak tahu siapa yang menuliskan dengan sangat bagus konsep hubungan nasionalisme dan diaspora itu. Namun saat ada kalimat : " Nasionalisme itu tidak sesempit selangkangan". Maka Haqqul Yakin, yang mengucapkan itu pasti laki laki tua. Abah Dahlan suka sekali menyenangkan jamaah disway. Haha
Sri Wasono Widodo
Di suatu senja, Saya harus transit di Denpasar menuju Semarang. Beberapa saat setelah duduk di pesawat, masuk seorang tua (Tionghoa) menyeret koper terengah-engah dan duduk di sebelah Saya. Saya tanya dari mana, Beliau menjawab: "Dari Australia" Setelah menarik nafas Dia melanjutkan:"Bapak besok anaknya disuruh sekolah di Australia saja, sambil bekerja. Upahnya cukup untuk beaya hidup dan kuliah". Saya agak sulit membayangkan bagaimana caranya. Ternyata kuncinya memang networking. Sepuluh tahun kemudian Saya berkesempatan nengok cucu di Perth. Ternyata yang dikatakan Bapak itu benar adanya. Abah menulis "Daripada menjadi skrup di negeri sendiri, lebih baik jadi mesin di negara maju". Critical thinkingnya: bagaimana jika di negara maju menjadi skrup? Saya pikir tidak mengapa. Jika setiap skrup mengirim remitten, bukankah segunung skrup mendatangkan devisa yang besar sebagaimana terjadi selama ini?
Ahmed Nurjubaedi
Bahasa Inggris juga sama nasibnya. Bahkan sampai 2 atau tiga tahun yang lalu. Untuk tingkat sekolah dasarnya menjadi muatan lokal, bukan mata pelajaran wajib. Entah siapa yg ngotot di level pengambil kebijakan. Menurut beliau, kalau kemampuan Bahasa Inggris anak-anak lebih bagus dari kemampuan Bahasa Indonesianya, nanti rasa nasionalismenya luntur. Juga mereka yg begitu kritis menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah uber alles, jati diri, kepribadian bangsa. Padahal mereka juga tahu, bagaimana strategisnya Bahasa Inggris untuk kemajuan bangsa. Mereka seperti menutup mata, bahwa para founding fathers negara kita adalah para jagoan bahasa asing. Untungnya, Bahasa Inggris sudah kembali menjadi mata pelajaran wajib sekarang. Semoga Pak Menteri yg baru tidak merubah lagi kebijakan ini. Wong beliau masternya juga dari Aussie. Selamat bekerja, Pak Menteri.
Ali Maftuh
Bahkan pun harus terpaksa memilih ganti kewarganegaraan, itulah kenapa syair hubbul wathan minal iman nya mbah Wahab itu bahkan dikita perintah Rasulullah, krn knelekatannya dihati sefrekuensi dengan lirik. Kita tdk pernah berhitung brp devisa yg dibawa Dato' Dr. Low Tuck Kwong ke malaysia, seberapa pak Liem membagun tempat kelahirannya, walaupun mereka berpaspor dan menjadi kaya disini serta telah menciptakan pekerjaan dan penghidupan ribuan bahkan jutaan warga bangsa Indonesia.
hikends