REL,EMPATLAWANG.BACAKORAN.CO.ID – Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy untuk menerapkan kebijakan kegiatan belajar mengajar lima hari perlu dikaji ulang.
Penolakan dan resistensi masyarakat yang terus meningkat adalah peringatan dini bagi masa depan sistem pendidikan nasional.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai bahwa kebijakan ini memiliki lebih banyak potensi kerugian (mafsadat) dibanding kebaikan (maslahat). “Kami mencatat sedikitnya ada sembilan potensi kerugian yang bisa dipastikan terjadi jika kebijakan ini terus dipaksakan,” ujar Sekretaris Jenderal PBNU HA. Helmy Faishal Zaini,
BACA JUGA:Sekelompok Siswa Dilarikan ke RS Setelah Makan Keripik Super Pedas Bhut Jolokia
BACA JUGA:Legislator Desak Satgas Sasar Mafia Impor Ilegal, Bukan UMKM
1. Beban Belajar yang Memberatkan Siswa
Hasil jajak pendapat dengan sejumlah pakar psikologi di Jawa Tengah menunjukkan bahwa daya serap ilmu anak usia SD cenderung menurun setelah jam 13.00. Jika kegiatan belajar mengajar ditambah hingga jam 16.00, keterserapan pendidikan pada anak usia dini tidak akan maksimal.
2. Aspek Mental Spiritual
Selain SD dan MI, terdapat pendidikan pesantren dan Madrasah Diniyah (Madin) yang berfungsi memperkuat pelajaran agama.
Madin biasanya dilaksanakan sore hari. Jika sekolah berlanjut hingga sore, siswa tidak dapat mengikuti Madin, mengurangi penguatan kepribadian dan watak spiritual anak.
3. Aspek Akademik
Aturan belajar lima hari memerlukan pembenahan kurikulum yang tidak mudah dilakukan.
Kurikulum lama sudah diterapkan secara sistematis, dan perubahan skema ini berkait erat dengan kemampuan rata-rata siswa dalam menyerap materi.
4. Kompetensi Non Akademik
Konsep lima hari sekolah akan memutus kreativitas anak dalam bidang non-akademik seperti seni, budaya, dan olahraga. Kegiatan les sore hari akan terabaikan karena waktu anak habis untuk belajar di sekolah.