REL,EMPATLAWANG.BACAKORAN.CO.ID – Aktivis pendidikan dari Tamansiswa, Ki Darmaningtyas, mengkritik keras kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) yang menghapus penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA.
Menurutnya, kebijakan ini ngawur dan tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia.
"Dalam tes masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), materi yang diujikan tidak mendasarkan pada mata pelajaran yang relevan dengan jurusan yang akan dimasuki," ujar Darmaningtyas, Sabtu, 20 Juli 2024.
BACA JUGA:9 Kerugian Kebijakan Sekolah 5 Hari,PBNU Minta Dikaji Ulang
BACA JUGA:Sekelompok Siswa Dilarikan ke RS Setelah Makan Keripik Super Pedas Bhut Jolokia
Ia mencontohkan, untuk jurusan Farmasi, seharusnya Kimia menjadi mata pelajaran utama yang diuji, demikian pula dengan Fisika dan Matematika untuk jurusan Teknik.
"Kalau tidak ada tes terkait dengan materi yang relevan, bagaimana PTN dapat menjaring calon mahasiswa yang sesuai dengan bidangnya?" tambahnya seperti yang kami kutif dari website disway.id
Darmaningtyas juga menyebut bahwa kurikulum tanpa penjurusan telah diterapkan di negara-negara maju. Namun, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan negara maju tersebut karena tingkat literasi dan numerasi di Indonesia masih rendah. Sementara negara-negara maju memiliki literasi dan numerasi yang sudah terbukti terdepan.
BACA JUGA:Sekelompok Siswa Dilarikan ke RS Setelah Makan Keripik Super Pedas Bhut Jolokia
BACA JUGA:Anak bunuh ayah kandung degan palu : Motif Permintaan dan Gangguan Jiwa
Penulis buku "Melawan Liberalisme Pendidikan" ini menyoroti berbagai permasalahan akibat penghapusan jurusan di SMA. Menurutnya, tidak ada perbedaan signifikan dari Kurikulum 2013 yang menerapkan peminatan mata pelajaran.
Pada Kurikulum 2013, siswa dengan peminatan di Fakultas Kedokteran dapat mengambil lebih banyak mata pelajaran Biologi dan Kimia, sementara siswa yang berminat di jurusan Teknik dapat mengambil lebih banyak mata pelajaran Matematika dan Fisika. Namun, kebijakan peminatan ini gagal karena infrastruktur tidak mendukung, termasuk ruang kelas, guru, laboratorium, dan birokrasi.
"Salah satu masalah dari sistem peminatan dulu adalah ada mata pelajaran yang menjadi favorit sehingga guru kelebihan jam mengajar, sementara mata pelajaran lain sepi peminat padahal gurunya cukup," jelas Darmaningtyas. Ini menimbulkan masalah besar terkait kesejahteraan guru, karena guru yang minim mengajar sulit memperoleh tunjangan profesi akibat tidak terpenuhi kewajiban mengajar 24 jam seminggu.
Sebagai solusi, beberapa sekolah mencoba membagi paket pelajaran untuk mempersiapkan siswa yang akan kuliah di jurusan IPA atau sosial humaniora. Namun, menurut Darmaningtyas, ini hanya penggantian istilah dari "jurusan" menjadi "paket" tanpa perubahan substansial.
BACA JUGA:Rahasia Menghilangkan Jamur Kaca Mobil: 7 Metode Ampuh yang Harus Anda Coba