Gajah RK
Dahlan Iskan saat mengunjungi Museum Tsunami Aceh.--
Oleh: Dahlan Iskan
Sebelum tsunami harga tanah di sini Rp 30.000/m2. "Sekarang Rp 2 juta/m2," ujar Pak Aky yang menemani saya makan siang kemarin.
Nama lengkapnya Kho Khie Siong. Ia ketua suku Hakka di Aceh. Sebanyak 99 persen warga Tionghoa Aceh bersuku Hakka.
Ia juga ketua barongsai yang sukses: Aceh dapat dua medali emas barongsai di PON barusan –di samping enam medali lainnya.
Yang dimaksud harga tanah ''di sini'' adalah di dekat rumah makan Hasan 2, di jalan kembar menuju bandara Banda Aceh.
BACA JUGA:Keputusan Akhir Dari sengketa Pilkada 8 Oktober 2024
BACA JUGA:Program TMMD Resmi Dimulai
Di situlah saya makan siang: ayam tangkap, daging lembu, dan sie kameng –artinya: daging kambing yang di masak gule. Sedikit berkuah.
Itu sudah sedikit di luar kota Banda Aceh. Sudah di kabupaten Aceh Besar. Ada keinginan agar wilayah kota diperluas sampai di sini tapi belum dapat persetujuan.
Harga tanah di dalam kota meningkatnya lebih drastis. Dengan lipatan lebih banyak lagi.
Banda Aceh sudah bukan kota sebelum tsunami. Berubah drastis. Jauh lebih maju. Lebih ramai. Lebih tertata. Lebih bersih. Banyak jalan baru. Atau jalan yang diperluas.
Dan, yang jelas, sudah banyak warung kopi. Saking banyaknya sampai Banda Aceh layak disebut sebagai kota ''seribu warkop''. Atau dua ribu. Datanglah ke Banda Aceh. Hitung sendiri.
Saya ke warkop-warkop itu. Minum kopi apa saja. Termasuk kopi terenak yang disebut syr sanger.
Lalu saya memanfaatkan waktu ke Museum Tsunami. Maafkan, begitu sering saya ke Aceh tapi baru kali ini ke museum itu. Sangat telat. Setelah umur museum 15 tahun –diresmikan Presiden SBY tahun 2009.