Tahija Wolbachia
Ilustrasi---
Tidak semua rumah diberi ember. Satu ember bisa untuk radius 50 m. Setelah dua minggu, telur itu sudah terbang menjadi nyamuk. Lalu ember diisi air lagi. Diberi telur nyamuk lagi.
Begitulah. Tiap 2 minggu dilakukan hal yang sama. Sampai 12 kali.
Setelah itu memang terasa jumlah nyamuk di dua dusun itu meningkat. Tapi penduduk tidak kaget. Sudah tahu. Itu bukan lagi nyamuk yang berbahaya. Pada siklus berikutnya jumlah nyamuk kembali normal. Yang berbeda: nyamuk normal itu tidak berbahaya lagi.
Sri Sultan terus dilapori pelaksanaan program ini. Setelah melihat jumlah korban demam berdarah turun drastis Sri Sultan minta agar diperluas. Di Sleman sendiri. Juga di seluruh Bantul.
Tidak ada gejolak. Tidak ada penolakan. UGM pun punya kian banyak peneliti nyamuk.
Tentu ada yang salah paham: program ini dikira modifikasi gen nyamuk. Sama sekali tidak. Virus Wolbachia-nya asli. Banyak ditemukan di berbagai serangga.
BACA JUGA:RSUD Pertahankan Akreditasi Paripurna
Pemerintahan pun berganti. Kebijakan juga berubah. Menkes Budi Sadikin mendengar kisah sukses pemberantasan DB di Yogyakarta itu. Maka pemerintah pusat kini justru memperluasnya ke lima kota: Jakarta Barat, Bontang, Semarang, Bandung, dan Kupang. Tetap menggandeng UGM dan Yayasan Tahija.
Tidak termasuk Bali seperti saya tulis kemarin. Program di Bali itu ternyata beda. UGM dan Yayasan Tahija tidak dilibatkan di Bali. Rupanya sukses di Yogyakarta terdengar pula sampai di Australia. Lalu pemerintah Australia memberikan dana untuk program ''serupa Yogyakarta'' di Bali. Pelaksananya Monash University dan organisasi nyamuk dunia.
Ketika temuannya diterapkan di Yogyakarta, Prof O'Neill memang sering ke Yogyakarta. Ia juga selalu mendapat up date jalannya program di Yogyakarta. UGM telah belajar ke O'Neill dan O'Neill telah belajar dari UGM.
Rupanya Monash, sebagai perintis, tidak mau pada akhirnya dikalahkan oleh UGM.
Persaingan tidak hanya terjadi di bisnis. Juga di universitas dan di ilmu pengetahuan. Kalau saja Monash tidak diizinkan ke Bali, bisa saja UGM menjadi yang paling hebat di soal demam berdarah. (*)