Jenderal Guo
Jenderal Guo.--
Guo Ziyi pernah mengatasi pemberontakan terbesar di zaman itu --dengan memimpin sendiri pertempuran besar itu. Bahkan sampai ada yang melebih-lebihkannya: nyaris bertempur seorang diri. Dan menang.
Sejak itu zaman dinasti Tang terkenal sebagai era yang adil makmur, tenang, damai, bahagia selama 300 tahun.
BACA JUGA:Realisasi Anggaran Ketahanan Pangan Naik Signifikan
Di zaman itulah Buddha masuk secara besar-besaran ke Tiongkok --dari India. Kisah Sun Go Kong berasal dari era ini.
Ketika akhirnya minta pensiun, Guo Ziyi mendapat hadiah wilayah perdikan. Lebih luas dari satu kabupaten terbesar di Jawa. Lokasinya tidak terlalu jauh dari ibu kota kekaisaran Tang, Xi'an. Daerah perdikan itu disebut Fen Yang. Dari Xi'an kira-kira 4 jam naik mobil ke arah timur.
Tentu status perdikan itu hilang di kemudian hari. Setelah tahun 1996 Fen Yang jadi satu kabupaten tersendiri.
Keturunan Guo Ziyi pun menyebar ke mana-mana. Termasuk ke satu desa kecil sekitar 30 menit dari kota Putian di provinsi Fujian. Saya melewati desa ini beberapa waktu lalu. Yakni saat bermobil dari Xianyou ke Putian.
BACA JUGA:Pemkab OKI Terima 16 Sertifikat Aset dari BPN
Saat itu saya belum tahu bahwa Romo Ami S. Winata berasal dari desa itu: Desa Ling Pian. Yakni satu desa di lereng timur sebuah bukit kecil. Dari bukit Liang Pian ini terlihat pantai timur Tiongkok yang menghadap ke Taiwan.
Kalau saja saya tahu itu saya pasti mampir ke Liang Pian. Di situ juga ada kelenteng Fen Yang. Juga menampilkan patung Jenderal Guo Ziyi sebagai dewa utama. Besarnya serupa dengan yang di Teluk Gong. Nama Fen Yang diambil dari daerah perdikan yang diberikan kepada Jenderal Guo Ziyi.
Setelah mendalami masalah kelenteng ayahnya itu barulah Romo Ami tahu: ini kelenteng Buddha. Vihara. Saat itu tidak ada yang tahu. Dikira itu kelenteng Tao. Yang datang untuk sembahyang di situ pun dari berbagai keyakinan: Tao, Konghucu, Buddha.
Memang di kanan-kiri altar Jenderal Guo Ziyi masih banyak altar untuk berbagai dewa lainnya. Setidaknya ada 20 altar di dalam bangunan utama kelenteng Fen Yang. Setiap altar dihuni beberapa dewa.
Ada dewa untuk yang ingin dapat jodoh. Untuk yang ingin punya anak. Banyak rejeki. Punya ketenangan jiwa. Rukun rumah tangga. Pun untuk yang ingin dapat pangkat tinggi.
Kelenteng Fen Yang, sejak dipimpin Romo Ami, dua kali lebih besar dibanding saat dibangun sang ayah. Bahkan kini ditambah satu ruang besar lagi di sebelahnya: untuk kebaktian Buddha Mahayana. Saat saya mampir ke ruang besar itu para bikhu lagi menghias ruangan –menjadi bersuasana Imlek.
Setelah semua dibersihkan, dimandikan dan kembali ke ornamen warna aslinya para dewa itu ditata ulang. Dikembalikan ke tempat semula. Mereka siap menyambut kedatangan umat di hari raya Imlek nanti.