Karet Sumsel Terancam Layu di Negeri Paman Sam

SADAP: Penyadap getah karet sedang bekerja di perkebunan, Sabtu (6/7/2024). Foto/Ilustrasi/Antara--

REL, Palembang – Di balik gemuruh mesin pabrik dan riuh kebun karet yang membentang di Sumatera Selatan, kini terselip kegelisahan mendalam. 

Kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan Pemerintah Amerika Serikat terhadap produk karet dunia, telah mengguncang ekosistem industri yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Sumatera Selatan—yang menyumbang lebih dari 700 ribu ton karet ekspor pada 2024—berdiri di persimpangan. 

Target ekspor 800 ribu ton untuk tahun 2025 kini terancam menjadi sekadar angka optimistis di atas kertas. Dan penyebabnya datang dari jauh, dari Washington DC.

BACA JUGA:Sumsel Incar Predikat Lumbung Pangan Nasional

“Amerika Serikat itu pasar utama kami, bukan sekadar pembeli, tapi mitra strategis,” ungkap Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO) Sumsel, Alex K Eddy, dilansir dari suara.com, Selasa (8/4/2025). 

“Dengan adanya tarif baru, posisi kita langsung goyah. Ini bukan sekadar penurunan penjualan, ini ancaman terhadap kehidupan.”

Sekitar 20 persen karet alam Indonesia—khususnya jenis Standar Indonesia Rubber (SIR)—meluncur ke pasar AS. Dan Sumsel menjadi lumbung utama dari angka itu. 

Dengan kualitas unggul dan suplai stabil, Sumsel selama ini dipercaya pasar dunia, termasuk AS. Tapi kini, semuanya bisa berubah hanya karena satu keputusan perdagangan.

BACA JUGA:Satu Dari Tiga Penusukan di DA Club 41 Diringkus Unit Reskrim Polsek Sukarami

Kekhawatiran Alex bukan tanpa dasar. Kebijakan tarif berarti harga jual naik, dan di tengah persaingan global yang kian tajam, harga adalah segalanya.

Negara pesaing seperti Thailand dan Vietnam siap menggantikan posisi Indonesia, dengan tawaran harga yang lebih kompetitif.

“Kalau kita kalah harga, kualitas tidak cukup untuk menahan konsumen tetap loyal. Dampaknya bisa sampai ke petani-petani kecil di pelosok yang bergantung pada harga beli dari pabrik,” jelasnya.

Jika permintaan menurun, harga di tingkat petani ikut terjun. Bukan hanya eksportir yang rugi, tapi juga jutaan keluarga petani yang selama ini menggantungkan hidup dari getah karet.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan