Matahari Kembar

--
Orangnya baik. Lemah lembut. Tutur katanya lirih, pelan, dan hati-hati. Setiap mengucapkan satu
kalimat ia seperti harus lebih dulu memilih kata-kata seperti ibu saya memilih kerikil di ayakan gabah.
Saya bisa memahami gejolak hati Junaini. Maka ia mengusulkan agar saya bikin koran baru di Pontianak.
Serahkan manajemen kepadanya sepenuhnya.
Maka lahirlah koran baru: Equator. Bersaing dengan Akcaya. Bersaing dalam selimut. Saya yakinkan
teman-teman di Akcaya: itu tidak apa-apa. Pesaing pasti akan datang. Cepat atau lambat. Sebelum
pesaing dari luar datang lebih baik kita ciptakan pesaing dari dalam.
Dua-duanya jalan. Junaini berhasil mengembangkan Equator –meski tidak pernah mampu mengalahkan
Akcaya. Ia juga berhasil membangun gedung di jalan utama kota itu.
Belakangan ketika zaman koran sudah lewat gedung itulah yang masih tersisa sebagai peninggalan kerja
kerasnya. Setidaknya Junaini telah berjasa ''menyehatkan'' internal Akcaya: tidak lagi ada matahari
kembar di dalam manajemen Akcaya.
Matahari kembar seperti itu selalu membuat manajemen tidak sehat. Tapi menghilangkan matahari
kembar sangatlah tidak mudah. Apalagi dua-duanya sangat berjasa. Dua-duanya tidak ada yang mau
mengalah. Maka saya harus pindahkan salah satu matahari itu.