Pendidikan Inklusif di Aceh Masih Hadapi Tantangan, Anak Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani Optimal

Pendidikan Inklusif di Aceh Masih Hadapi Tantangan, Anak Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani Optimal-Reri Alfian -Reri Alfian
RAKYATEMPATLAWANG – Meskipun pemerintah telah mendorong sistem pendidikan inklusif di seluruh wilayah Indonesia, implementasinya di Aceh masih menghadapi berbagai tantangan serius. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di beberapa daerah di Aceh belum mendapatkan hak pendidikan secara optimal, baik dari segi akses, fasilitas, maupun tenaga pengajar.
Menurut laporan sejumlah organisasi pendidikan dan pemantauan lapangan di kabupaten/kota di Aceh, masih banyak sekolah negeri dan swasta yang belum siap menjadi sekolah inklusi. Hambatan utamanya meliputi kurangnya guru pendamping khusus (GPK), fasilitas yang tidak ramah disabilitas, serta minimnya pelatihan bagi guru umum dalam menangani ABK.
Fasilitas Masih Terbatas
Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, hanya sebagian kecil sekolah yang benar-benar memiliki sarana-prasarana inklusif, seperti jalur landai, toilet khusus, dan alat bantu belajar. Banyak ABK yang terpaksa tidak bersekolah karena tidak ada sekolah terdekat yang bisa mengakomodasi kebutuhan mereka.
BACA JUGA:Harga Kopi Robusta di Empat Lawang Turun Drastis, Petani Merasa Lesu
“Kami ingin anak kami sekolah seperti anak-anak lain, tapi sekolah terdekat belum menerima anak dengan kondisi seperti ini,” kata Siti Mariam, orang tua dari anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Bireuen.
Guru Pendamping Minim
Tantangan lain yang signifikan adalah minimnya guru pendamping khusus (GPK). Di beberapa kabupaten, rasio GPK dengan jumlah ABK masih sangat tidak seimbang. Bahkan, di banyak sekolah inklusi, guru umum masih harus menangani anak berkebutuhan khusus tanpa pelatihan khusus.
“Kami berusaha semaksimal mungkin, tapi tanpa pelatihan, kami sering bingung bagaimana harus mendampingi mereka,” ujar salah satu guru SD Negeri di Lhokseumawe.
BACA JUGA:Bupati Empat Lawang Pimpin Upacara Hari Bhayangkara ke-79
Stigma dan Kurangnya Sosialisasi
Tak hanya tantangan teknis, pendidikan inklusif di Aceh juga masih menghadapi hambatan sosial. Banyak masyarakat, bahkan sebagian pendidik, belum memahami konsep inklusi secara utuh. Akibatnya, ABK kerap dipandang sebagai "beban tambahan" atau “tidak cocok di sekolah umum”.
Upaya dan Harapan
Meski begitu, sejumlah inisiatif telah mulai dilakukan oleh dinas pendidikan setempat dan organisasi sosial. Beberapa sekolah percontohan mulai mengembangkan model pendidikan inklusif dengan melibatkan komunitas, melatih guru, dan menyediakan fasilitas pendukung.
BACA JUGA:12 Bintara Polres Pagar Alam Naik Pangkat
Pemerintah Provinsi Aceh juga menyatakan komitmennya untuk memperluas sekolah inklusi dan memperkuat kapasitas tenaga pendidik di seluruh wilayah.
“Pendidikan inklusif adalah bagian dari hak anak. Kita akan terus dorong pelatihan dan alokasi anggaran khusus untuk memastikan semua anak, tanpa kecuali, bisa belajar bersama,” kata Kepala Dinas Pendidikan Aceh dalam konferensi pers bulan lalu.
Pendidikan inklusif di Aceh masih berada dalam tahap awal dan menghadapi tantangan besar, namun bukan tanpa harapan. Dengan dukungan kebijakan, partisipasi masyarakat, dan komitmen dari dunia pendidikan, masa depan pendidikan yang lebih adil dan inklusif di Aceh masih sangat mungkin diwujudkan.***