Perangko Lelap
Dahlan Iskan.--
Saya cari Wikipedia: sedikit sekali informasi tentang cagar alam di tengah padang pasir ini. Itulah cagar untuk melindungi binatang pengungsi. Khususnya burung yang menghindari wilayah dingin.
Padahal, di peta, cagar itu luas sekali. Baik yang kiri maupun yang kanan jalan. Saya perkirakan setidaknya satu jam penuh bus akan melewati di tengahnya.
BACA JUGA:Jalan Rusak di OKI Masih Mengkhawatirkan
Sudah enam jam perjalanan bus dari Riyadh. Mungkin hanya empat jam kalau pakai mobil BYD. Bus berbelok ke restoran. Di pinggir jalan. Saya tidak ingin makan. Saya sudah bawa roti lebar di tas kresek. Tidak pula ingin ke toilet. Barusan ke toilet di dalam bus –di sebelah tangga turun nan curam di bagian tengah bus.
Penumpang di depan saya kembali naik bus. Ajak saya turun. Juga mengajak satu penumpang lagi. Untuk sama-sama masuk resto setengah lungset itu. Saya lihat gambar-gambar besar yang dipajang: serba makanan Arab. Atraktif.
Yang mengajak saya itu orang Yaman. Tinggi, langsing, setengah baya, ganteng. Satunya lagi pendek, kecil, hitam, selalu bicara keras di HP. Ia orang Sudan.
Rupanya si Yaman tadi sudah memesan satu porsi nasi briyani. Porsinya besar. Satu nampan. Dua ekor ayam panggang menghiasi di atasnya. Ia perlu teman untuk menghabiskannya.
BACA JUGA:Parah! Oknum Marbot Cabuli 3 Bocah
Tidak habis juga. Pun separonya.
Kami berlomba lari ke kasir. Si Yaman lebih dulu menjulurkan uang 100 riyal. Saya tepis tangannya. "Saya yang bayar," kata saya. Tidak hanya di dalam hati. Ia ngotot. Bahasa Arabnya lebih bisa dipahami kasir. Jadilah lagi-lagi saya makan gratisan. Pun nun di tengah padang pasir.
"Mau umrah?" tanya si Sudan setelah makan.
Saya mengangguk.
"Umroa juga?" tanya saya.
"La," jawabnya.
"Mau umrah juga?" tanya saya ke yang si Yaman.