Menteri Pendidikan Sering Jadi ‘Korban’ Nomenklatur, Begini Daftarnya Sepanjang Sejarah

Menteri Pendidikan Sering Jadi ‘Korban’ Nomenklatur, Begini Daftarnya Sepanjang Sejarah-ist/net-
Rel, Bacakoran.co – Pendidikan adalah fondasi utama pembangunan bangsa.
Namun ironisnya, kementerian yang mengurusi pendidikan justru paling sering menjadi “korban” perubahan nomenklatur tiap kali presiden berganti.
Dalam perjalanan 80 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia sudah melalui delapan era kepemimpinan nasional. Setiap presiden datang dengan visi berbeda, dan hampir selalu diiringi perubahan struktur Kementerian Pendidikan.
Sejarah panjang kementerian ini memperlihatkan betapa pentingnya posisi seorang Menteri Pendidikan, sekaligus betapa rumitnya tantangan yang harus mereka hadapi. Dari masa perjuangan pasca-kemerdekaan, era Orde Baru, hingga reformasi, wajah pendidikan Indonesia tak pernah lepas dari pergeseran kebijakan besar.
BACA JUGA:Sederet Kebijakan Pendidikan Nadiem Makarim yang Picu Kontroversi
BACA JUGA:Oppo A6 Pro 5G Hadir dengan Baterai Monster 7000 mAh & Dimensity 7300!
Era Awal Kemerdekaan: Peletak Dasar Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan pertama adalah Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, dengan falsafah Ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pada masa awal, kementerian masih bernama Menteri Pengajaran, dengan fokus menghapus buta huruf, membangun sekolah baru, serta menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Mr. T.S.G. Mulia, Mohd. Sjafei, Mr. Soewandi, Mr. Ali Sastroamidjojo, hingga Dr. Sarmidi Mangunsarkoro. Mereka menanam pondasi sistem pendidikan nasional yang bebas dari warisan kolonial.
Demokrasi Terpimpin: Pendidikan dan Ideologi
Memasuki dekade 1950–1960an, tokoh seperti Dr. Bahder Johan, Mr. Mohammad Yamin, Ki Sarino Mangunpranoto, dan Prof. Dr. Prijono memimpin pendidikan dengan penekanan ideologi Nasakom ala Presiden Soekarno. Konsep Pancawardhana lahir di masa ini, menekankan pengembangan moral, intelektual, seni, keterampilan, dan jasmani. Namun, krisis ekonomi membuat banyak program berjalan setengah hati.
Orde Baru: Wajib Belajar dan Sentralisasi
Pada masa Orde Baru, stabilitas politik membawa program besar seperti Wajib Belajar 6 tahun (1984) lalu 9 tahun (1994), pembangunan SD Inpres, serta kurikulum nasional (1975, 1984, 1994).
Menteri Pendidikan yang berperan antara lain Dr. Daud Joesoef, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Fuad Hassan, dan Prof. Dr.-Ing. Wardiman Djojonegoro. Akses pendidikan memang meluas, tetapi sentralisasi yang kuat menjadikan pendidikan sering sebagai alat politik.