Ketua PGRI Jateng Kritik Rencana MBG untuk Guru Non-ASN: Sasar Saja Seluruh Guru, Jangan Keliru Definisi!
Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus Senator DPD RI, Muhdi-Net/Foto/Ist.-
Rel, Bacakoran.co – Wacana pemberian Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk guru non-ASN di sekolah negeri menuai kritik.
Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus Senator DPD RI, Muhdi, menilai kebijakan tersebut berpotensi salah sasaran karena pada dasarnya tidak ada lagi tenaga honorer di sekolah negeri.
Muhdi menyampaikan pandangannya sebagai respons atas pernyataan Direktur Sistem Pemenuhan Gizi Badan Gizi Nasional (BGN), Enny Indarti, yang mengatakan bahwa guru non-ASN akan turut menerima MBG.
Menurutnya, istilah non-ASN perlu dipahami dengan benar agar kebijakan tidak menyimpang dari realita.
“Apabila MBG hendak menyasar guru non-ASN, maka yang dimaksud seharusnya guru swasta,” tegas Muhdi, Jumat (31/10/2025) di Semarang.
Ia menegaskan bahwa semua guru—baik ASN maupun non-ASN—idealnya menerima MBG agar dapat makan bersama siswa sekaligus mengawasi kualitas makanan.
“Sasar saja seluruh guru dan tenaga pendidikan. Jangan sampai BGN keliru memahami, karena tidak ada lagi honorer di sekolah negeri,” lanjutnya.
BACA JUGA:Awas! ASN Bisa Kehilangan Tunjangan Hingga Gaji Pensiun Jika Bolos Kerja, BKN Ingatkan Sanksi Berat
BACA JUGA:Petisi TKA Meledak 238 Ribu Dukungan, Mendikdasmen Tegas: “The Show Must Go On!”
Ketimpangan Distribusi MBG di Daerah Pinggiran
Selain kritik soal sasaran penerima, Muhdi menyoroti pelaksanaan MBG yang dinilai belum merata.
Ia mengungkapkan bahwa sekolah-sekolah di perkotaan justru lebih dulu menikmati program tersebut, sementara sekolah di daerah pinggiran masih tertinggal.
“Sekolah di kota yang orang tuanya mampu justru mendapat lebih awal, sementara daerah pinggiran belum mendapat akses,” jelasnya.
Menurutnya, fenomena ini terjadi karena penyedia MBG lebih memilih sekolah dengan siswa dalam jumlah besar, demi efisiensi distribusi.
“Di Semarang, satu SMA bisa 1.000 siswa. Sementara di desa, satu SD kurang dari 100 siswa. Mitra harus antar ke 30 titik, padahal yang lebih membutuhkan di desa,” tambahnya.