Maraton Pilpres

Pelari New York City Marathon 2021 membantu pelari lain yang terjatuh. Foto: CTV News---

Anda pun tahu: apa maksud cerita seperti itu dimunculkan kembali. Intinya: mengapa dalam pemilihan presiden tidak terjadi penegakan etika seperti di cerita maraton tadi. Lalu akan jadi apa bangsa ini ke depan: bangsa tanpa moralitas.  

Tentu Pilpres bukanlah sebuah lomba maraton –meski lelahnya lebih hebat. Menjadi juara maraton merupakan kebanggaan personal. Dampaknya juga lebih banyak personal.  

Beda dengan Pilpres. Juaranya akan menjadi presiden sebuah republik besar. Sang juara menentukan nasib 270 juta rakyat Indonesia. Maka dalam ”lomba balap” presiden menjadi juara bukanlah tujuan utama. Yang terpenting adalah: mau apa setelah jadi juara.  

BACA JUGA:Pengedar Sabu Asal Prabumulih II Ditangkap, Polisi Sita 16 Bungkus Sabu Siap Edar

BACA JUGA:Ibu Rumah Tangga di Lubuklinggau Ditangkap Saat Jadi Kurir Narkoba: Polisi Temukan Sabu di Genggaman Tangan

Para calon presiden punya gagasan besar di balik keinginannya memenangkan maraton. Gagasan besar itu yang terangkum dalam sebuah ambisi. Etika dianggap menghambat ambisi. Bahkan lebih dari etika: hukum pun dilanggar demi ambisi itu.  

Mereka yang punya gagasan besar itu pasti punya alasan pembenar: mengapa etika dikalahkan. Mengapa hukum dilanggar. Alasan itu sering dibungkus dalam kemasan yang indah: demi kepentingan umum. Demi kemajuan. Demi kepentingan yang lebih besar. Demi negara.  

Maka membunuh PKI, bagi mereka, satu keharusan. Membunuh preman dianggap jalan pintas. Melakukan revolusi itu apa boleh buat. Kudeta pun punya pembenarannya sendiri.  

Sial kita saja: kalau semua pelanggaran etika dan hukum itu mereka lakukan ternyata kepentingan umumnya tetap nol. Kemajuan bangsanya tidak nyata. (DAHLAN ISKAN) 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan