Perempuan sekolah tinggi-tinggi, untuk apa?

--

”Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalo ujung-ujungnya ngurusin dapur?”

Pernyataan-pernyataan di atas, bisa jadi sudah lumrah didengar di masyarakat, apalagi untuk perempuan yang masih lajang tetapi mengenyam pendidikan tinggi hingga S2/S3. Lalu, apakah pendidikan tinggi yang ditempuh seorang perempuan hanya sekadar agar dapat berkarir ’di luar dapur’ dan meningkatkan kualitas perekonomiannya sendiri? Atau bahkan tersembunyi anggapan bahwa pendidikan perempuan tidak lebih dari sekadar formalitas dan hanya sekadar menambah angka statistik?

Berdasarkan data BPS tahun 2022, terdapat 8,06 persen perempuan dengan pendidikan terakhirnya adalah perguruan tinggi. Jika dirincikan, terdapat 2,23 persen perempuan mengemban pendidikan hingga DI/DII/DIII, 5,51 persen di antaranya merupakan lulusan DIV/S1, 0,05 persen profesi, dan 0,27 persen merupakan lulusan S2/S3.

Tidak dapat dipungkiri, pendidikan yang lebih tinggi yang ditamatkan seseorang tentunya akan memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang berkualitas dan pendapatan yang lebih tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, maka seseorang tersebut cenderung memilih untuk bekerja (Hidayatulloh, 2017). Seorang perempuan yang bekerja secara langsung dapat berkontribusi terhadap ekonomi keluarganya dan mampu menunjang perekonomian negara. Berdasarkan data BPS 2023 yang bersumber dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), terdapat 35,75 persen perempuan yang bekerja di sektor formal. Selain bekerja di sektor formal, pendidikan yang lebih tinggi memberikan seseorang keterampilan dan pengetahuan untuk menjalankan bisnis sendiri dan menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri. Data BPS menunjukkan sebanyak 37,86 persen perempuan di Indonesia bekerja dengan berusaha sendiri baik dibantu buruh atau tidak. Sebagai salah satu contoh seorang wanita inspiratif yaitu Nurhayati Subakat, pendiri dari beauty product ternama seperti Wardah dan Make Over, merupakan lulusan profesi apoteker perguruan tinggi negeri Indonesia yang pada akhirnya berkarir pada bidang kosmetik yang Ia dirikan sendiri.

Perempuan dengan pendidikan tinggi juga kini semakin banyak mengambil peran kepemimpinan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Pendidikan tinggi memungkinkan perempuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analisis, dan manajerial, yang semuanya penting untuk kepemimpinan yang efektif. Sebagai contoh tokoh perempuan inspiratif tersebut ialah Najwa Shihab, seorang lulusan sarjana hukum universitas negeri dan berhasil menamatkan magister dengan beasiswanya, yang sekarang dikenal sebagai presenter dengan ciri khas pembawaan dan gaya bicaranya yang kritis dan menohok tajam.

BACA JUGA:5 Pertimbangan Sebelum Memutuskan Punya Anak Banyak

BACA JUGA:Gelar Simulasi Pengamanan Pilwako Pagar Alam 2024

Namun, pendidikan seorang perempuan memiliki peran yang jauh lebih luas dari itu. Penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan terdidik, mereka lebih cenderung terlibat dalam pengambilan keputusan penting di rumah tangga, di lingkungan kerja, dan di masyarakat. Mereka dapat mengelola sumber daya keluarga dengan lebih baik, cenderung berinvestasi pada kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka, mampu memberikan bimbingan akademis, dan menciptakan lingkungan keluarga yang dapat menunjang perkembangan intelektual anak-anak.

Menurut Pusparina dan Suciati (2021), tingkat pendidikan Ibu berpengaruh positif terhadap sikap dan perilakunya dalam menghadapi masalah gizi dan kesehatan pada anak. Anak dengan Ibu yang berpendidikan rendah memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingan dengan Ibu

dengan pendidikan tinggi. Kemudian, terdapat pula hubungan antara pendidikan ibu dengan pola asuh anak. Annisa (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua (terutama ibu), semakin baik pula pola asuh orang tua terhadap anaknya. Selain itu, semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin baik pula karakter anak tersebut. Dengan demikian, perempuan terdidik berperan positif terhadap pembentukan generasi berikutnya yang lebih baik.

Pendidikan tinggi memberi perempuan lebih banyak pilihan dalam hidup, baik untuk berfokus pada karier, keluarga, atau keduanya. Membatasi perempuan dari pendidikan tinggi sama saja dengan membatasi potensi mereka untuk berkembang dan berkontribusi lebih luas dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang sama besarnya untuk berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan, dari pekerjaan, kewirausahaan, kepemimpinan, hingga keberlangsungan hidup anak. Pendidikan tinggi adalah hak setiap individu, termasuk perempuan, dan merupakan kunci bagi terciptanya masyarakat yang lebih adil, makmur, dan progresif. Mengabaikan atau meremehkan pentingnya pendidikan bagi perempuan berarti melewatkan potensi besar untuk kemajuan dan perubahan positif di masyarakat.

Tag
Share