BACA JUGA:Tabung Misterius dari Zaman Belanda Ditemukan di Musi Rawas, Sempat Dikira Bahan Peledak
BACA JUGA:Ajax Tersingkir dari Piala Belanda oleh Tim Amatir
Tujuannya adalah untuk memberikan tanda bahaya atau informasi tentang kedatangan tentara Belanda kepada gerilyawan .
Salah satu metode yang umum digunakan adalah dengan bunyi kentongan yang disebarkan secara estafet dari kampung ke kampung.
Namun, metode ini dianggap terlalu berisik dan mudah teridentifikasi oleh musuh.
Bunyi kentongan seringkali malah mengundang tentara Belanda ke kampung yang sebenarnya berpihak kepada gerilyawan, yang akhirnya bisa berujung pada pembakaran kampung tersebut.
Dalam rangka memelihara kesenyapan dan menghindari pendeteksian oleh musuh, para pejuang di kaki Gunung Sumbing menciptakan sistem kode bahaya yang lebih canggih, yaitu "sistem geplak".
Sistem ini adalah kode bahaya tradisional yang tidak mengeluarkan suara berisik seperti kentongan.
BACA JUGA:Warga Belanda di Pulangkan Ke Negaranya
Sistem geplak terdiri dari sebuah tiang bambu dengan tinggi sekitar delapan hingga sepuluh meter.
Tiang tersebut dilengkapi dengan sebuah bendera yang terbuat dari anyaman bambu, berukuran sekitar satu kali satu meter, bendera ini menyerupai pemukul dalam ukuran yang lebih besar.
Setiap kali terjadi bahaya atau tentara Belanda mendekat, geplak didirikan tegak lurus di atas sebuah bukit yang menjadi pembatas desa.
Jika ada patroli tentara Belanda yang datang, tiang tersebut langsung dijatuhkan.
Begitu pula jika seorang pengawas atau warga melihat geplak di desa tetangga sudah dijatuhkan.
Sistem geplak ini pernah membuat para serdadu Belanda kebingungan.