Dilajukanlah operasi bisul. Sembuh. Sementara. Lalu muncul lagi sakit serupa. Dilakukan lagi operasi kecil di anus. Reda. Juga tidak lama. Kambuh lagi.
Bulan lalu ia terpaksa ke dokter. Umurnya sudah 61 tahun. Sudah lama pensiun dari Jawa Pos.
Dokter terakhir itulah yang menganjurkan Nasaruddin ke dokter Bambang Soegianto. Sang dokter juga menderita ambeien. Penyakitnya beres ketika dokter itu jadi pasien dokter Bambang.
Nasaruddin pun ke dokter Bambang. Curiga. Kok tidak kunjung sembuh. Dilakukanlah pemeriksaan secara khusus.
Bambang sudah sering punya pasien ambeien yang tidak kunjung sembuh. Pun setelah berobat ke Singapura, Thailand, dan Penang, Malaysia.
Ditemukanlah Nasaruddin bukan menderita karena ambeien. Ia kena penyakit fistula Ani.
Menulis ''fistula''-nya boleh pakai huruf kecil, tapi Ani-nya harus pakai A huruf besar. Pertanda bahwa itu nama orang –Anda sudah tahu siapa dia.
Gejala fistula Ani memang mirip dengan ambeien. Seperti bisul. Tapi jauh di dalam anus. Bukan seperti ambeien yang di bibir anus.
Maka untuk menyelesaikannya tidak bisa hanya mengoperasi bagian ''mulut anus''. Harus dibongkar sampai ke dalam. Semua jaringan yang mati atau bernanah harus diambil lewat operasi bagian dalam anus.
Dokter Bambang menceritakan hasil pemeriksaannya itu. Lalu memberikan nama-nama pasien lain yang mengalami fistula Ani. Mereka sembuh di tangan dokter Bambang. Lewat operasi.
Nasaruddin pun berbicara dengan mereka. Ada tiga orang yang ia ajak bicara lewat HP. Salah satu di antaranya sudah berobat ke Thailand. Satu lagi pernah berobat ke Penang. Di sana dioperasi. Tapi tidak sembuh. Sakitnya muncul lagi. Setelah dioperasi dokter Bambang barulah beres.
Dokter Bambang seumuran dengan saya: 73 tahun. Hanya beda satu bulan. Ia tampak sangat sehat. Badannya langsing, rambutnya masih hitam.
Saya bertemu dokter Bambang saat menjenguk Nasaruddin di RS Adi Husada Surabaya. Dokter Bambang lagi visitasi. Saya pun ngobrol panjang.
Ia lahir di Rogojampi, nun di wilayah Banyuwangi. Saat SMP Bambang sekolah di Zhong Zhong Surabaya –sekolah Tionghoa yang kelak di tahun 1965 ditutup oleh Orde Baru.
Akhirnya Bambang lanjut ke SMA Negeri 3 Surabaya. Ia tidak canggung kumpul dengan siswa yang umumnya pribumi.
Ayahnya adalah pejuang. Sang ayah ikut berjuang bersama laskar di perang kemerdekaan. Sang ayah menerima piagam sebagai pejuang.