RAKYATEMPATLAWANG – Kisah kelam ‘orang rantai’ yang dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai buruh paksa di tambang batu bara Ombilin, Sumatra Barat, kini diangkat kembali melalui seni tradisional yang khas: wayang Sawahlunto.
Pertunjukan ini menggabungkan sejarah gelap penindasan dengan perpaduan budaya antara Jawa dan Minangkabau, yang dihasilkan dari asimilasi antara pekerja buruh yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Pada akhir Agustus 2024, lantunan gamelan terdengar merdu di Sanggar Karawitan Bina Laras, Sawahlunto, ketika sekelompok remaja mempelajari cara memainkan alat musik tradisional Jawa ini.
Mereka bersiap untuk mengiringi pertunjukan seni wayang Sawahlunto, yang berbeda dengan wayang kulit pada umumnya yang mengangkat kisah epik seperti Mahabharata dan Ramayana.
BACA JUGA:Spoiler Jujutsu Kaisen Chapter 231: Duel Sengit Gojo vs Sukuna Semakin Intens
BACA JUGA:4 Tokoh Jujutsu Kaisen yang Domain Expansion-nya Belum Diperlihatkan dengan Jelas
Wayang Sawahlunto dan Asimilasi Budaya
Pemilik Sanggar Karawitan Bina Laras, Sajiman, menjelaskan bahwa wayang Sawahlunto mengisahkan sejarah orang rantai yang menjadi buruh paksa di tambang batu bara Ombilin.
“Wayang Sawahlunto menceritakan kisah orang rantai, bukan cerita epik dari Jawa,” kata Sajiman.
‘Orang rantai’ adalah sebutan bagi ribuan buruh yang dipaksa bekerja di tambang batu bara sejak 1891.
BACA JUGA:Resep Bakwan Sayur Rebon: Kelezatan yang Tak Terlupakan!
BACA JUGA:Kebangkitan Gojo Satoru dalam Jujutsu Kaisen Chapter 270
Mereka diangkut dari berbagai wilayah di luar Sumatra, seperti Jawa dan Sulawesi, untuk bekerja di tambang yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.
Buruh-buruh ini, sebagian besar merupakan tahanan politik dan penjahat, dipaksa bekerja dengan kaki dirantai, yang mencegah mereka melarikan diri.
Tokoh utama dalam wayang Sawahlunto adalah Samin Surosentiko, pelopor ajaran Saminisme yang menentang pemerintahan kolonial Belanda.